gambar dari : www.antaranews.com |
Ada yang sedikit berbeda
dalam persiapan ibadah jumat kali ini. Kami menyiagakan beberapa rekan relawan dengan persenjataan lengkap di mulut “pintu”
masjid. Sengaja pintu dengan tanda petik sebagai sebutan secara maknawi saja
karena sejatinya masjid ini memang tidak berpintu. Sekitar lima orang stand by
bukan dengan AK 47 atau MIG 16, namun beberapa tongkat lap lantai. Mereka diterjunkan
untuk menjamin kenyamanan agar jamaah
jum’ah dapat melaksanakan shalat tanpa khawatir terganggu oleh debu yang
menempel di jidat atau bahkan terhirup hidung ketika bersujud.
Namun seoptimal upaya maka pada akhirnya ketika tiba waktu sholat,
masih ada saja dibeberapa area terutama yang dekat dengan tiang terluar,
ceceran debu vulkanis yang melapis lantai tipis-tipis. Memang luar biasa Gunung
itu. Mbah Rono menyampaikan bahwa Gunung Kelud ber type Stratovulkanic.
*Stratovulkanic adalah gunung kerucut dengan lereng yang curam dan kaki yang melandai, tercipta dari subduksi (penekukan) lempeng tektonik. Biasanya kaya silikat dan bersifat asam*
Mbah Rono lebih lanjut menjelaskan bahwa gunung berapi itu punya
karakter mirip manusia, yaitu “unik”.
Berbeda sifat antara satu gunung dan gunung lainnya. Kalau Kelud ini eksplosif-meledak-ledak,
punya karakter energi yang besar, dengan demikian tidak aneh erupsi untuk letusan saat ini mencapai
ketinggian 17 km. Energi yang tinggi dikombinasikan dengan kandungan yang kaya
silikat maka beginilah yang terjadi, abu vulkaniknya tersebar ke daerah yang
begitu jauh sesuai dengan arah angin saat itu. Dilaporkan dari berbagai berita
abu vulkanik Kelud mencapai Jawa Barat, bahkan berpotensi sampai Jakarta.
Wilayah yang dilaporkan terkena efek abu yang cukup parah meliputi, Jombang ke
Barat, Solo, Yogyakarta dan Gombong Kebumen. Sore hari tadi dilaporkan jarak
pandang di Jogja dan Kebumen hanya sekitar 2 meter saja. Tentu saja kami yang
ada di Purwokerto pun kebagian pula.
Kembali ke masalah lantai yang terlapis tipis abu vulkanik tadi, maka agak lucu juga melihat beberapa
jamaah yang jidatnya memutih kelabu akibat
sujud dilantai ber abu tadi, sehingga setelah keluar cepat-cepat mereka berkaca
di spion kendaraan untuk memastikan penampilan.
Demi melihat jidat-jidat yang memutih kelabu itu, maka
kemudian menjadi jelas sebagai apa
hakekat kita didunia ini. Gempa bumi kebumen, erupsi Sinabung, banjir
disebagian Jawa, disusul erupsi Kelud adalah Serat-Serat Jiwa Illahi yang Dia
tuliskan untuk kita. Mempertegas ayat apa yang sudah pernah Dia turunkan kepada
utusannya yaitu
Maka masing-masing (mereka itu) Kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan
kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras
yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan
di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri. (QS
AlAnkabut : 40)
Jidat yang memutih mengelabu itu mempertegas, bahwa sesungguhnya wajah yang
kita banggakan ini derajatnya tidak lebih mulia dari pantat, tempat kita buang
kotoran, atau sekedar kentut. Ketika bersujud maka letaknya jauh dibawah,
bahkan tidak lebih mulia dari telapak kaki kita. Maka wajah yang kita banggakan
kecantikan, atau ketampanannya, di elus setiap hari dengan berbagai produk yang
memukau, sebagaimanapun meriasnya maka sebegitu rendahnya derajatnya. Maka
tidak layak bagi wajah itu untuk sombong dan berbangga diri. Maka jidat yang
memutih kelabu itu mengajari kita tentang ke”tawadlu”an. Ujub adalah merasa
diri lebih dibandingkan dengan orang lain; sedangkan sombong (al Kibr) adalah
menolak kebenaran dan meremehkan manusia (baca: makhluk) lain. Maka wahai wajah
yang putih mengelabu, engkau tidak akan mampu mengelabui hatimu apalagi
Tuhanmu.
Jidat yang memutih mengelabu
hakikatnya sedang membaca Serat-Serat Jiwa yang dikirimkan oleh Illahi Robbi,
bahwa manusia bila dibakar maka akhirnya menjadi debu. Sehingga rayuan setan
dan hawa nafsu yang diperturutkan akan membakar jiwa manusia menjadi gosong
berabu. Dari abu kita belajar darimana kita berasal dan bagaimana keadaan kita
kembali.
Maka apa yang dapat kita lakukan
kecuali selalu berusaha menjaga agar wajah ini tetap bersih dari abu, membasuhnya dengan air wudlu. Membersihkan
jiwa kita dari abu debu, hasil dari sebagian jiwa kita yang dibara dan dibakar
oleh syaitan dengan bertaubat. Maka apakah ada jalan yang lebih baik daripada
Istighfar?
Maka apa yang dapat kita banggakan
kecuali perasaan ridlo kita pada segenap takdir dan ketentuan Allah, dan tidak
berhenti berharap agar Dia pun memiliki keridloan yang sama pada kita.
Langit yang muram, abu debu yang turun
merayapi muka bumi, petir yang menggelegar, hujan yang turun dipagi ini adalah
serat-serat jiwa Illahi. Sudahkah kita dengan tepat membacanya?
#senja kelabu di purwokerto, 14 Februari
2014.
Teriring doa untuk segenap keluarga
Pak de Waluyo-Kediri di pengungsian dan semua pengungsi erupsi Kelud, semoga
kita mampu dengan tepat membaca dan bertindak, mengambil pelajaran. dan
berharap agar Allah selalu mengangkat setiap kesulitan menggantinya menjadi
kemudahan. dan menjadikannya sebagai ladang amal.[iogy baskara]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar