Jumat, 14 Februari 2014

Membaca Serat-Serat Jiwa Illahi


gambar dari : www.antaranews.com

Ada  yang sedikit berbeda dalam persiapan ibadah jumat kali ini. Kami menyiagakan beberapa rekan  relawan dengan persenjataan lengkap di mulut “pintu” masjid. Sengaja pintu dengan tanda petik sebagai sebutan secara maknawi saja karena sejatinya masjid ini memang tidak berpintu. Sekitar lima orang stand by bukan dengan AK 47 atau MIG 16, namun beberapa tongkat lap lantai. Mereka diterjunkan untuk menjamin  kenyamanan agar jamaah jum’ah dapat melaksanakan shalat tanpa khawatir terganggu oleh debu yang menempel di jidat atau bahkan terhirup hidung ketika bersujud.

Namun seoptimal upaya maka pada akhirnya ketika tiba waktu sholat, masih ada saja dibeberapa area terutama yang dekat dengan tiang terluar, ceceran debu vulkanis yang melapis lantai tipis-tipis. Memang luar biasa Gunung itu. Mbah Rono menyampaikan bahwa Gunung Kelud ber type Stratovulkanic.


*Stratovulkanic adalah gunung kerucut dengan lereng yang curam dan kaki yang melandai, tercipta dari subduksi (penekukan) lempeng tektonik. Biasanya kaya silikat dan bersifat asam*

Mbah Rono lebih lanjut menjelaskan bahwa gunung berapi itu punya karakter mirip manusia, yaitu  “unik”. Berbeda sifat antara satu gunung dan gunung lainnya. Kalau Kelud ini eksplosif-meledak-ledak, punya karakter energi yang besar, dengan demikian tidak aneh  erupsi untuk letusan saat ini mencapai ketinggian 17 km. Energi yang tinggi dikombinasikan dengan kandungan yang kaya silikat maka beginilah yang terjadi, abu vulkaniknya tersebar ke daerah yang begitu jauh sesuai dengan arah angin saat itu. Dilaporkan dari berbagai berita abu vulkanik Kelud mencapai Jawa Barat, bahkan berpotensi sampai Jakarta. Wilayah yang dilaporkan terkena efek abu yang cukup parah meliputi, Jombang ke Barat, Solo, Yogyakarta dan Gombong Kebumen. Sore hari tadi dilaporkan jarak pandang di Jogja dan Kebumen hanya sekitar 2 meter saja. Tentu saja kami yang ada di Purwokerto pun kebagian pula. 

Kembali ke masalah lantai yang terlapis tipis abu vulkanik  tadi, maka agak lucu juga melihat beberapa jamaah yang  jidatnya memutih kelabu akibat sujud dilantai ber abu tadi, sehingga setelah keluar cepat-cepat mereka berkaca di spion kendaraan untuk memastikan penampilan. 

Demi melihat jidat-jidat yang memutih kelabu itu, maka kemudian  menjadi jelas sebagai apa hakekat kita didunia ini. Gempa bumi kebumen, erupsi Sinabung, banjir disebagian Jawa, disusul erupsi Kelud adalah Serat-Serat Jiwa Illahi yang Dia tuliskan untuk kita. Mempertegas ayat apa yang sudah pernah Dia turunkan kepada utusannya yaitu 

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri. (QS AlAnkabut : 40)

Jidat yang memutih mengelabu itu  mempertegas, bahwa sesungguhnya wajah yang kita banggakan ini derajatnya tidak lebih mulia dari pantat, tempat kita buang kotoran, atau sekedar kentut. Ketika bersujud maka letaknya jauh dibawah, bahkan tidak lebih mulia dari telapak kaki kita. Maka wajah yang kita banggakan kecantikan, atau ketampanannya, di elus setiap hari dengan berbagai produk yang memukau, sebagaimanapun meriasnya maka sebegitu rendahnya derajatnya. Maka tidak layak bagi wajah itu untuk sombong dan berbangga diri. Maka jidat yang memutih kelabu itu mengajari kita tentang ke”tawadlu”an. Ujub adalah merasa diri lebih dibandingkan dengan orang lain; sedangkan sombong (al Kibr) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia (baca: makhluk) lain. Maka wahai wajah yang putih mengelabu, engkau tidak akan mampu mengelabui hatimu apalagi Tuhanmu.

Jidat yang memutih mengelabu hakikatnya sedang membaca Serat-Serat Jiwa yang dikirimkan oleh Illahi Robbi, bahwa manusia bila dibakar maka akhirnya menjadi debu. Sehingga rayuan setan dan hawa nafsu yang diperturutkan akan membakar jiwa manusia menjadi gosong berabu. Dari abu kita belajar darimana kita berasal dan bagaimana keadaan kita kembali.

Maka apa yang dapat kita lakukan kecuali selalu berusaha menjaga agar wajah ini tetap bersih dari abu,  membasuhnya dengan air wudlu. Membersihkan jiwa kita dari abu debu, hasil dari sebagian jiwa kita yang dibara dan dibakar oleh syaitan dengan bertaubat. Maka apakah ada jalan yang lebih baik daripada Istighfar?

Maka apa yang dapat kita banggakan kecuali perasaan ridlo kita pada segenap takdir dan ketentuan Allah, dan tidak berhenti berharap agar Dia pun memiliki keridloan yang sama pada kita.

Langit yang muram, abu debu yang turun merayapi muka bumi, petir yang menggelegar, hujan yang turun dipagi ini adalah serat-serat jiwa Illahi. Sudahkah kita dengan tepat membacanya?
#senja kelabu di purwokerto, 14 Februari 2014.
Teriring doa untuk segenap keluarga Pak de Waluyo-Kediri di pengungsian dan semua pengungsi erupsi Kelud, semoga kita mampu dengan tepat membaca dan bertindak, mengambil pelajaran. dan berharap agar Allah selalu mengangkat setiap kesulitan menggantinya menjadi kemudahan. dan menjadikannya sebagai ladang amal.[iogy baskara]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar