Kalau melihat orang galau, aku jadi ingat seorang sahabat yang galau juga. Statusnya di
facebook yang random dan curcol (#dia banget).
Aku datang kepadanya berlagak bisa sekedar memulihkan keadaan hatinya
dengan ngobrol kecil kiri kanan, sekedar urun kuping, barangkali bisa meredakan
galaunya. Apa lacur yang aku obrolin malah nambah dia makin galau. Akhirnya aku jadi melow dan speechless.
Berlagak seperti konsultan kejiwaan
meredakan galau tapi malah jadi kacaw. Sok tahu begitu lah...
“Dia” itu orang yang begitu dalam perhatiannya pada orang
lain.
*okelah banyak orang yang suka kasih perhatian ke orang lain.
Ada juga yang nggak sempat mandi gara-gara mikirkan si doi, mau tidur ingat
do’i, bangun tidur apa lagi, melek mata langsung samber hape, “halo bagaimana
kabarmu, yang?”. Bukan seperti itu
bentuk perhatian sahabatku itu pada orang, itu sih seperti jatuh cinta cemen yang sering
berjangkit di ruang gaul anak remaja. Atau galaunya orang yang sudah kadung
deket banget bersahabat dengan orang yang kalau nggak sms, atau telpon rasanya
seperti gersang. *
“Dia” seorang pekerja sosial. Hampir seluruh waktunya “dia”
curahkan untuk klien-kliennya. Ada Puji, seorang anak penderita hydrocephalus,
yang kata dokter divonis sudah tak terobatkan,yang dia kunjungi hampir setiap
akhir pekan sambl membawa beberapa bungkus kresek isi jajanan, ada mbah
Karsitem perempuan tua yang tinggal di pos ronda yang dihimpit bangunan megah kos-kosan, kompleks kampus
Soedirman, sosok yang terlupakan ditengah hiruk pikuk teriakan tentang ilmu
humaniora, humanitas dan kedermawanan, “dia”
pula yang mengangkat kisahnya ke permukaan. Bahkan tentang Tasripin yang
sempat menjadi buah bibir sampai ke teras Istana negara, hingga SBY pun perlu
repot-repot mengirim sumbangan. “Dia”
pula yang pertama kali menuliskan tentang Tasripin dengan tulisan sederhana
tanpa lipstik dan dramatisasi disana-sini sebagaimana tulisan banyak jurnalis
di media yang bahkan nampak sekali mengeksploitasi Tasripin demi
kepentingan deadline media dan atau atas nama pengajuan project
proposal; dan “klien-klien“ lain yang tidak terhitung banyaknya.
“Kenapa harus stag kaya gini sih, mas?”, ungkapnya
saat itu. Banyak memang hambatan yang harus dia atasi. Disaat yang sama aku
sebenarnya punya potensi untuk membantu, tapi begitulah waktu hanya tercipta 24
jam saja.
Begitulah “dia”
nampak tertekan dan berpikir keras setiap ada hambatan atau tantangan
yang merintangi jalannya, namun seperti biasa “dia” terus bekerja-bekerja untuk mengurai
kesulitan. Aku ingat binar matanya
ketika kami merancang sebuah lay-out ruangan untuk filantropi pengadaan ambulan
gratis, tanda setuju dengan ide itu yang akhirnya kami kerja bersama-sama.
Hemmm kecil sekali kontribusiku di acara itu,
dan dia terus bekerja.
Ya terus bekerja, bukan dengan “bekerja” yang ada dalam
bayangan banyak orang, dengan gaji yang besar, sarana pendukung yang mumpuni
bla..bla..bla. Bekerjanya “dia” adalah
terus melahirkan karya, dengan gaji yang tidak seberapa. “Dia”
bahkan tidak sempat memikirkan diri sendiri, sekedar untuk memanjakan
diri dalam arti foya-foya nggak ada dalam kamus pribadinya. Dia terus memberi
dan berbagi, memikirkan penderitaan orang, ketika bertemu dengan peristiwa,
selalu saja “dia” bertanya “apa yang
bisa aku lakukan untuk meringankan?”.
Kegalauan itu lah yang mengantarkan dia ketempat yang
barangkali tidak bisa kita jangkau, derajat syahid dan kematian yang indah,
jumat beberapa pekan kemarin. Teringat wall di blognya “sayangilah makhluk yang
ada di Bumi, maka Dzat yang ada dilangit akan menyayangimu” atau gambaran ke”sepi”annya
di wall facebooknya, “Jika tidak ada bahu untuk bersandar, selalu ada lantai
untuk bersujud”.
Maka demikianlah gambaran galau, yang tingkat dewa sekalipun
sebenarnya nggak penting banget, kecuali kegalauan atau lebih tepatnya
keprihatinan itu diletakkan untuk memikirkan keadaan saudara kita, berbagi
untuk meringankan penderitaan mereka.
Selalu saja kita menjadi lemah, bila merasa menjadi korban
keadaan. Menjadi subyek sebuah peristiwa pilu sekalipun lebih bermakna dan terhormat
daripada menjadi obyek sebuah pentas
keglamouran.
Hidup cuma sekali, maka sayangilah semua manusia, apalagi
manusia terdekatmu, sekalipun untuk melakukannya harus galau tingkat dewa. Semoga
bisa jadi amal terbaik kita. (iogy baskara)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar