Selasa, 11 Februari 2014

Jikalau Harus Galau, Gak Perlu Kacau


Kalau melihat orang galau, aku jadi ingat  seorang sahabat yang galau juga. Statusnya di facebook yang random dan curcol (#dia banget).  Aku datang kepadanya berlagak bisa sekedar memulihkan keadaan hatinya dengan ngobrol kecil kiri kanan, sekedar urun kuping, barangkali bisa meredakan galaunya. Apa lacur yang aku obrolin malah nambah dia makin galau.  Akhirnya aku jadi melow dan speechless. Berlagak seperti konsultan kejiwaan  meredakan galau tapi malah jadi kacaw. Sok tahu begitu lah...
“Dia” itu orang yang begitu dalam perhatiannya pada orang lain.
*okelah banyak orang yang suka kasih perhatian ke orang lain. Ada juga yang nggak sempat mandi gara-gara mikirkan si doi, mau tidur ingat do’i, bangun tidur apa lagi, melek mata langsung samber hape, “halo bagaimana kabarmu, yang?”.  Bukan seperti itu bentuk perhatian sahabatku itu pada orang,  itu sih seperti jatuh cinta cemen yang sering berjangkit di ruang gaul anak remaja. Atau galaunya orang yang sudah kadung deket banget bersahabat dengan orang yang kalau nggak sms, atau telpon rasanya seperti gersang. *
“Dia” seorang pekerja sosial. Hampir seluruh waktunya “dia” curahkan untuk klien-kliennya. Ada Puji, seorang anak penderita hydrocephalus, yang kata dokter divonis sudah tak terobatkan,yang dia kunjungi hampir setiap akhir pekan sambl membawa beberapa bungkus kresek isi jajanan, ada mbah Karsitem perempuan tua yang tinggal di pos ronda yang dihimpit  bangunan megah kos-kosan, kompleks kampus Soedirman, sosok yang terlupakan ditengah hiruk pikuk teriakan tentang ilmu humaniora, humanitas dan kedermawanan, “dia”  pula yang mengangkat kisahnya ke permukaan. Bahkan tentang Tasripin yang sempat menjadi buah bibir sampai ke teras Istana negara, hingga SBY pun perlu repot-repot mengirim sumbangan. “Dia”  pula yang pertama kali menuliskan tentang Tasripin dengan tulisan sederhana tanpa lipstik dan dramatisasi disana-sini sebagaimana tulisan banyak jurnalis di media yang bahkan nampak sekali mengeksploitasi Tasripin  demi  kepentingan deadline media dan atau atas nama pengajuan project proposal; dan “klien-klien“ lain yang tidak terhitung banyaknya.
“Kenapa harus stag kaya gini sih, mas?”, ungkapnya saat itu. Banyak memang hambatan yang harus dia atasi. Disaat yang sama aku sebenarnya punya potensi untuk membantu, tapi begitulah waktu hanya tercipta 24 jam saja.
Begitulah “dia”  nampak tertekan dan berpikir keras setiap ada hambatan atau tantangan yang merintangi jalannya, namun seperti biasa “dia”  terus bekerja-bekerja untuk mengurai kesulitan.  Aku ingat binar matanya ketika kami merancang sebuah lay-out ruangan untuk filantropi pengadaan ambulan gratis, tanda setuju dengan ide itu yang akhirnya kami kerja bersama-sama. Hemmm kecil sekali kontribusiku di acara itu,  dan dia terus bekerja.
Ya terus bekerja, bukan dengan “bekerja” yang ada dalam bayangan banyak orang, dengan gaji yang besar, sarana pendukung yang mumpuni bla..bla..bla. Bekerjanya “dia”   adalah terus melahirkan karya, dengan gaji yang tidak seberapa.  “Dia”  bahkan tidak sempat memikirkan diri sendiri, sekedar untuk memanjakan diri dalam arti foya-foya nggak ada dalam kamus pribadinya. Dia terus memberi dan berbagi, memikirkan penderitaan orang, ketika bertemu dengan peristiwa, selalu saja “dia”   bertanya “apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan?”.  
Kegalauan itu lah yang mengantarkan dia ketempat yang barangkali tidak bisa kita jangkau, derajat syahid dan kematian yang indah, jumat beberapa pekan kemarin. Teringat wall di blognya “sayangilah makhluk yang ada di Bumi, maka Dzat yang ada dilangit akan menyayangimu” atau gambaran ke”sepi”annya di wall facebooknya, “Jika tidak ada bahu untuk bersandar, selalu ada lantai untuk bersujud”.
Maka demikianlah gambaran galau, yang tingkat dewa sekalipun sebenarnya nggak penting banget, kecuali kegalauan atau lebih tepatnya keprihatinan itu diletakkan untuk memikirkan keadaan saudara kita, berbagi untuk meringankan penderitaan mereka.
Selalu saja kita menjadi lemah, bila merasa menjadi korban keadaan. Menjadi subyek sebuah peristiwa pilu sekalipun lebih bermakna dan terhormat daripada  menjadi obyek sebuah pentas keglamouran.
Hidup cuma sekali, maka sayangilah semua manusia, apalagi manusia terdekatmu, sekalipun untuk melakukannya harus galau tingkat dewa. Semoga bisa jadi amal terbaik kita. (iogy baskara)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar