|
Bukan Agama atau Science tapi Agama dan Science |
Manusia terdiri atas tiga unsur atau
komponen dasar, yaitu akal, qolbu, dan jasad. Manusia yang baik adalah yang
mampu mengoptimalkan fungsi tiga unsur tersebut sesuai dengan karakteristik dan
kodratnya masing-masing untuk beribadah kepada Allah swt.
Akal
Manusia dapat
menjalankan agama dengan baik kalau memahami agama itu dengan baik. Untuk dapat
memahami agama dengan
baik, maka haruslah memahami wahyu
dengan baik. Dan di sinilah letak peran akal manusia, yaitu untuk memahami
wahyu. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan
akal.
Di dalam Al-Quran kata akal (‘aql)
disebut sebanyak 48 kali, yang semuanya berbentuk kata kerja (fi’il).
Penyebutan dengan bentuk kata kerja menunjukkan fungsionalisasi dari akal itu
secara lebih spesifik dan dapat diklasifikasikan menjadi dua fungsi:
1. Sebagai alat
untuk memahami dan mengolah alam semesta (otak rasional)
2. Sebagai alat
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. (otak spiritual)
Jadi dalam perspektif Al-Quran kata
akal lebih dipakai untuk memberi penekanan pada fungsi otak, bukan pada otak
secara structural. Otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa
pencerahan pada manusia yang pada gilirannya akan mengantarkannya menuju Allah
swt.
Menurut Taufiq Pasiak dalam bukunya
“Revolusi IQ/EQ/SQ, antara Neurosains dan Al-Quran”, fungsi otak berturut-turut
berlangsung sebagai berikut:
1. Homunculus
sensorik, tempat rekaman indera diterima dan diatur otak. Otak rasional
mempeoleh informasi dari alat-alat indera itu.
2. Otak intuitif,
mengelola informasi tersebut dan menginstruksikan hasilnya kepada indera-indera
tersebut dan memformulasikannya dengan tepat dan bijak.
3. Otak spiritual,
berfungsi merenungkan, memahami informasi tersebut dalam upaya mendekatkan diri
kepada Allah swt.
Secara spekulatif fungsi otak ketiga
inilah yang diperankan oleh Al-Qolbu. Orang yang mampu mengoptimalkan ketiga fungsi
otak tersebut tentunya dia adalah orang yang berakal, berilmu, dan muslim
dengan tingkat keislaman yang sempurna.
Akal dan Ilmu pengetahuan
Islam adalah agama yang sangat
menghormati ilmu, mengangkat orang-orang yang berilmu dan memberikan kedudukan
yang tinggi kepada mereka. Ayat yang sangat populer dalam Al-Quran berbunyi:
“…niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat...”
(QS.
58:11)
Kedudukan yang mulia ini tentu tidak dapat
diraih oleh mereka yang tidak mau mengfungsikan akalnya. Betapa akal merupakan anugerah Allah yang
sangat berharga dalam kehidupan kita. Kita diberi akal sehat seharusnya kita
gunakan untuk hal yang baik dan bermanfaat sebagai bentuk rasa syukur kita
kepada Allah swt.
Ilmu pengetahuan dan wahyu
Dibanyak ayat Al-Quran, Allah
memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dengan baik dalam usaha untuk memahami
wahyu dan ayat-ayatNya. Logikanya akal kita tidak akan bertentangan dengan
wahyu tersebut. Sepanjang
hidup, kita diperintahkan untuk mencari ilmu pengetahuan, mempergunakan akal dengan baik dalam
memahami wahyu dan ayat-ayat Allah adalah jalan untuk memperoleh ilmu
pengetahuan tersebut. Nah, di sini tegas kita katakan bahwa agama Islam selaras dan sejalan dengan
logika akal dan ilmu pengetahuan, oleh karena itu tidak dikenal dalam tarikh
islam, konfrontasi
(pertentangan) antara wahyu dan akal, atau antara Islam dan ilmu pengetahuan, sebagaimana
pertentangan itu terjadi di Barat yang mengawali munculnya sekularisme. Sebagai
salah satu fakta adalah terbunuhnya Galileo Galilei di tiang gantungan gereja
yang menjadi bukti nyata adanya konfrontasi tersebut. Anggapan terjadinya
pertentangan antara wahyu dan akal (pemikiran) atau wahyu dan ilmu pengetahuan sebenarnya
adalah proses perjalanan penggunaan akal yang belum final. Wahyu bersifat
mutlak benar, sedangkan akal bersifat relatif, bisa benar dan bisa salah. Sebagaimana
dimaklumi bahwa hasil pemikiran akal seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perkembangan ilmu
pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Karena itu tidak mungkin terjadi
pertentangan antara wahyu dan akal (pemikiran) atau wahyu dan ilmu pengetahuan
kecuali mengenai penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan dan belum final.
Dalam kaitanya dengan masalah ini yang patut kita curigai tentu akal atau
pemikiran sebagai produk akal kita, bukan wahyu (Al-Quran maupun Al Hadits).
Dan kita tentu tidak sepakat dengan golongan rasionalis yang mengambil sikap
sebaliknya dengan mencurigai atau meng-cancel wahyu. Sehingga mereka terjerumus ke dalam
jurang kekafiran (nas’alullahu Al Afiah).
Agama hanya bagi mereka yang berakal
Agama ini sesuai dengan akal dan
tidak ada kewajiban agama yang dibebankan kepada mereka yang tidak berakal.
Mereka yang mukallaf dan terkena
beban taklif adalah mereka yang baligh dan berakal. Adapun orang gila
maka ia tidak layak untuk menerima agama dan menjalankan kewajiban agama. Al-Quran
sebagai mu’jizat yang sangat hebat dan luar biasa itu tidak ada nilainya
apa-apa kalau dihadapkan kepada mereka yang tidak berilmu dan berakal.
Allah memberi mu’jizat kepada Nabi
islam Rasulullah Muhammad saw. bukan dengan ayat kauniyah (yang berbentuk
fisik) yang menjadikan kepala tunduk, sebagaimana ayat yang berbunyi:
“ jika
kami menghendaki niscaya kami turunkan kepada mereka mu’jizat dari langit, yang
akan membuat tengkuk mereka tunduk dengan rendah hati kepadanya” (QS. 26:4)
Tetapi Allah memberi mu’jizat berupa ayat
ilmiah, ayat-ayat yang sarat dengan ilmu yang menjadikan akal tunduk. Memang di
awal islam ketika rasulullah saw masih di mekah atas permintaan kafir quraisy,
Allah memberikan mu’jizat dengan terbelahnya bulan yang satu belahan di atas
jabal qoinuqo’ dan yang satu di atas jabal abi qubais,
“ saat (hari kiamat)
semakin dekat, bulanpun terbelah.” (QS. 54:1)
tetapi kemudian mereka mendustakannya,
“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mu’jizat)
mereka berpaling dan berkata ‘ini adalah sihir yang terus-menerus’ ”(QS. 54:2)
Oleh karena itu pada waktu lain ketika mereka
minta mu’jizat kauniyah turunlah ayat:
“Dan
apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur'an) sedang ia dibacakan kepada mereka?...” (QS. 29:51)
Cukuplah Al-Quran sebagai mu’jizat
abadi rasulullah saw hingga hari kiamat, bukan merupakan mu’jizat kauniyah
tetapi mu’jizat ilmiah.
Al-Ghazali berkata dalam bukunya
Ma’arijul-qudsi:
“Bahwa sesungguhnya Al-Quran adalah bagaikan
cahaya dan akal bagaikan penglihatan.
” … dan telah Kami
turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).” (QS. 4:174)
Tanpa penglihatan dan cahaya, seseorang tidak
akan dapat melihat sesuatu. Dengan cahaya saja tanpa penglihatan, seseorang
juga tidak akan dapat melihat sesuatu. Dengan penglihatan saja tanpa cahaya,
seseorang juga tidak akan mampu untuk melihat sesuatu ”
Orang yang dapat melihat kebenaran
adalah mereka yang mempergunakan kedua-duanya, wahyu (Al Quran dan Hadits) dan
akalnya. Karena itu, sebagai bukti syukur kita, marilah kita gunakan akal kita
dengan sebaik-baiknya untuk memahami ayat-ayat Allah dalam rangka mendekatkan
diri dan beribadah kepadaNya.
Bahwa ilmu pengetahuan itu tidak
bersifat netral (bebas sebuah nilai) karena pada hakikatnya ia merupakan
refleksi dari kepribadian, budaya, pola pikir, agama dan masyarakat tertentu.
Kita perlu mengakses, mengikuti dan mencermati gejala ilmiah yang menjadi trend
baru dan positif dari para ilmuwan. Dunia telah menyaksikan betapa model kajian
interdisipliner yang menitikberatkan pada beberapa bidang disiplin ilmu telah
meruntuhkan konsepsi yang selama ini dibangun atas asumsi yang diyakini oleh
paham sekuler dan liberal bahwa sains (ilmu pengetahuan ) bersifat netral.
Sebagai contoh, buku Taufiq Pasiak di atas yang mengolah perkembangan
spektakuler dalam neurosains. Buku itu merupakan uraian lengkap kajian
interdisipliner yang menitikberatkan pada beberapa bidang ilmu yang bukan
secara kebetulan berkaitan erat. Bidang-bidang itu antara lain neuroanatomi,
neurofisiologi, psikologi, psikologi kognitif, filsafat, menejemen dan
Ulumul-Quran. Kajian seperti ini membuahkan hasil yang sangat meyakinkan, yakni
hubungan yang tak terelakan antara ilmu pengetahuan dan agama.
Kemunduran Islam
Kalau kita membuka lembaran sejarah
kebudayaan islam barangkali kita akan menemukan bahwa musibah besar yang
menimpa ummat islam sampai saat ini adalah kemerosotan dan kemunduran kaum
muslimin yang memunculkan perasaan inferior terhadap budaya islam itu sendiri
yang pada giliranya akan membawa ummat semakin skeptis terhadap ajaran
agamanya.
Dalam sejarah tercatat bahwa awal
kemunduran islam dan runtuhya superioritas militer islam ditandai dengan
kegagalan dinasti Utsmaniyah dalam menyerang Vienna pada 1683, disusul
kekalahan imperium Moghol dengan EIC (English Eash India Company), suksesnya
agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dan hampir bersamaan itu pula
negeri-negeri imperialis baat seperti Belanda, Portugis, Perancis, Inggris dan
Spanyol menjadikan negeri-negeri islam baik di Asia maupun di Afrika sebagai
negeri jajahan.
Memang semua musibah adalah dari
Allah swt. Segala sesuatu sudah di catat di lauh mahfuzh, tetapi jangan
kemudian kita bersifat fatalis, kita harus berbuat, mengevaluasi diri, dan
mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya.
Sebagian cendekiawan muslim
kontemporer mencoba untuk mengidentifikasi penyebab kemunduran berdasarkan
aspek-aspek eksternal seperti fenomena-fenomena sosial, politik, ekonomi,
teknologi, budaya, dan sebagian lain mengidentifikasi akar penyebab kemunduran
berdasar aspek internal, yaitu kesalahan persepsi ummat islam terhadap ilmu
pengetahuan itu sendiri.
Setelah kaum imperialis gagal untuk
mengeksplor ide-ide dan pandangan hidup mereka ke dunia islam secara
konfrontatif mereka mulai memasukan ide-ide dan pandangan hidup itu dengan
menyelinap.
Namun sayangnya banyak anak-anak kita,
generasi-generasi muslim yang terpesona dengan kemajuan barat, sehingga ia
dengan mudah terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran barat. Mereka dengan
mudah mengadopsi begitu saja ilmu-ilmu dari barat seperti materialisme,
liberalisme, sekularisme, marxisme, feminisme, demokrasi dan sebagainya.
Padahal ilmu-ilmu itu merupakan refleksi dari budayta-budaya asing yang secara
diametral bertentangan dengan islam.
Menjemput kejayaan islam
Kejayaan dan kegemilangan peradaban
islam tidak akan kembali kecuali kita berpulang kepada tuntunan Allah Al-Quran
dan Al-Hadits, namun kita perlu tahu bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan
sesuatu yang melekat pada diri seseorang, yang ada di pikiran yang kemudian
meresap dalam sanubari sehingga megantarkan orang tersebut untuk lebih mengenal
Allah swt. dan menumbuhkan khosyyah atau
taqwallah.
Adapun sesuatau yang ada di luar
kita itu bukan ilmu, tetapi informasi, fakta atau obyek. Sebagai perumpamaan,
hasil perkalian 2x2=4 yang ditulis pada secarik kertas dan diberikan kepada
seorang bayi maka tidak akan berarti apa-apa. Begitu pula Al-Quran Al-Karim
sebagai sumber ilmu pengetahuan tidak berarti apa-apa kalau dihadapkan kepada
orang kafir.
Begitu pula Al-Quran sebagai
ayat-ayat qouliyah (tanda-tanda kebesaran Allah) kalau kita hanya melihat
fisikalnya, simbol-simbolnya, huruf-hurufnya, lambang-lambangnya maka tidak
akan banyak bermakna. Dan ayat-ayat kauniyat (tanda-tanda kebesaran Allah yang
ada di alam semesta) tidak akan bermakna kalau kita hanya melihat sisi fisiknya
saja. Jadi demi memperoleh kembali kejayaan islam kita harus kembali mengkaji
dengan intens ayat-ayat Allah baik yang qouliyah maupun yang kauniyat.
Ini memang menjadi tugas yang berat
dan perjuangan bagi kita. Karena pada kenyataannya ide-ide sekuler telah mengkontaminasi
pola pikir generasi-generesi muda kita, yang hanya menjadikan materi sebagai
tujuan akhir. Mereka berusaha mati-matian hanya untuk meraih kenikmatan materi
dan kesenangan psikologis semata, padahal seharusnya kehidupan kita di alam
fonomenal ini kita jadikan jembatan/wasilah/sarana untuk meraih kebahagiaan
hakiki di akhirat.
“Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri
akhirat..”
(Al-Qashash:77)
Gunakanlah waktu dan kesempatan yang
masih diberikan oleh Allah kepada kita untuk hal yang bermanfaat. Marilah kita
berbuat semampu kita untuk kejayaan islam. (Ahmad Thoha Husein Al Hafidz/ANIS)