Jumat, 14 Februari 2014

Membaca Serat-Serat Jiwa Illahi


gambar dari : www.antaranews.com

Ada  yang sedikit berbeda dalam persiapan ibadah jumat kali ini. Kami menyiagakan beberapa rekan  relawan dengan persenjataan lengkap di mulut “pintu” masjid. Sengaja pintu dengan tanda petik sebagai sebutan secara maknawi saja karena sejatinya masjid ini memang tidak berpintu. Sekitar lima orang stand by bukan dengan AK 47 atau MIG 16, namun beberapa tongkat lap lantai. Mereka diterjunkan untuk menjamin  kenyamanan agar jamaah jum’ah dapat melaksanakan shalat tanpa khawatir terganggu oleh debu yang menempel di jidat atau bahkan terhirup hidung ketika bersujud.

Namun seoptimal upaya maka pada akhirnya ketika tiba waktu sholat, masih ada saja dibeberapa area terutama yang dekat dengan tiang terluar, ceceran debu vulkanis yang melapis lantai tipis-tipis. Memang luar biasa Gunung itu. Mbah Rono menyampaikan bahwa Gunung Kelud ber type Stratovulkanic.


*Stratovulkanic adalah gunung kerucut dengan lereng yang curam dan kaki yang melandai, tercipta dari subduksi (penekukan) lempeng tektonik. Biasanya kaya silikat dan bersifat asam*

Mbah Rono lebih lanjut menjelaskan bahwa gunung berapi itu punya karakter mirip manusia, yaitu  “unik”. Berbeda sifat antara satu gunung dan gunung lainnya. Kalau Kelud ini eksplosif-meledak-ledak, punya karakter energi yang besar, dengan demikian tidak aneh  erupsi untuk letusan saat ini mencapai ketinggian 17 km. Energi yang tinggi dikombinasikan dengan kandungan yang kaya silikat maka beginilah yang terjadi, abu vulkaniknya tersebar ke daerah yang begitu jauh sesuai dengan arah angin saat itu. Dilaporkan dari berbagai berita abu vulkanik Kelud mencapai Jawa Barat, bahkan berpotensi sampai Jakarta. Wilayah yang dilaporkan terkena efek abu yang cukup parah meliputi, Jombang ke Barat, Solo, Yogyakarta dan Gombong Kebumen. Sore hari tadi dilaporkan jarak pandang di Jogja dan Kebumen hanya sekitar 2 meter saja. Tentu saja kami yang ada di Purwokerto pun kebagian pula. 

Kembali ke masalah lantai yang terlapis tipis abu vulkanik  tadi, maka agak lucu juga melihat beberapa jamaah yang  jidatnya memutih kelabu akibat sujud dilantai ber abu tadi, sehingga setelah keluar cepat-cepat mereka berkaca di spion kendaraan untuk memastikan penampilan. 

Demi melihat jidat-jidat yang memutih kelabu itu, maka kemudian  menjadi jelas sebagai apa hakekat kita didunia ini. Gempa bumi kebumen, erupsi Sinabung, banjir disebagian Jawa, disusul erupsi Kelud adalah Serat-Serat Jiwa Illahi yang Dia tuliskan untuk kita. Mempertegas ayat apa yang sudah pernah Dia turunkan kepada utusannya yaitu 

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri. (QS AlAnkabut : 40)

Jidat yang memutih mengelabu itu  mempertegas, bahwa sesungguhnya wajah yang kita banggakan ini derajatnya tidak lebih mulia dari pantat, tempat kita buang kotoran, atau sekedar kentut. Ketika bersujud maka letaknya jauh dibawah, bahkan tidak lebih mulia dari telapak kaki kita. Maka wajah yang kita banggakan kecantikan, atau ketampanannya, di elus setiap hari dengan berbagai produk yang memukau, sebagaimanapun meriasnya maka sebegitu rendahnya derajatnya. Maka tidak layak bagi wajah itu untuk sombong dan berbangga diri. Maka jidat yang memutih kelabu itu mengajari kita tentang ke”tawadlu”an. Ujub adalah merasa diri lebih dibandingkan dengan orang lain; sedangkan sombong (al Kibr) adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia (baca: makhluk) lain. Maka wahai wajah yang putih mengelabu, engkau tidak akan mampu mengelabui hatimu apalagi Tuhanmu.

Jidat yang memutih mengelabu hakikatnya sedang membaca Serat-Serat Jiwa yang dikirimkan oleh Illahi Robbi, bahwa manusia bila dibakar maka akhirnya menjadi debu. Sehingga rayuan setan dan hawa nafsu yang diperturutkan akan membakar jiwa manusia menjadi gosong berabu. Dari abu kita belajar darimana kita berasal dan bagaimana keadaan kita kembali.

Maka apa yang dapat kita lakukan kecuali selalu berusaha menjaga agar wajah ini tetap bersih dari abu,  membasuhnya dengan air wudlu. Membersihkan jiwa kita dari abu debu, hasil dari sebagian jiwa kita yang dibara dan dibakar oleh syaitan dengan bertaubat. Maka apakah ada jalan yang lebih baik daripada Istighfar?

Maka apa yang dapat kita banggakan kecuali perasaan ridlo kita pada segenap takdir dan ketentuan Allah, dan tidak berhenti berharap agar Dia pun memiliki keridloan yang sama pada kita.

Langit yang muram, abu debu yang turun merayapi muka bumi, petir yang menggelegar, hujan yang turun dipagi ini adalah serat-serat jiwa Illahi. Sudahkah kita dengan tepat membacanya?
#senja kelabu di purwokerto, 14 Februari 2014.
Teriring doa untuk segenap keluarga Pak de Waluyo-Kediri di pengungsian dan semua pengungsi erupsi Kelud, semoga kita mampu dengan tepat membaca dan bertindak, mengambil pelajaran. dan berharap agar Allah selalu mengangkat setiap kesulitan menggantinya menjadi kemudahan. dan menjadikannya sebagai ladang amal.[iogy baskara]

Kamis, 13 Februari 2014

Bukan Cinta Satu Malam :Refleksi 14 Februari Hari Pagan

Butuh Waktu, Membina Cinta Sejati. Jelas Bukan Cinta Satu Malam

Islam memerintahkan kepada kita agar kita mencintai dan memberikan hak-hak seorang muslim sebagai sebuah kewajiban yang harus kita tunaikan. Islam telah mengajarkan kepada kita bagaimana seharusnya bersikap dan berakhlak terhadap sesama muslim dan sesama mukmin. Dan itu berlaku sepanjang waktu, bukan satu hari saja. Nah.. inilah diantaranya:
1. Memuliakannya dan memperlakukannya sebagai saudaranya Islam telah menjadikan ikatan yang kuat diantara sesama muslim dan sesama mukmin sehingga semua orang muslim dan semua orang mukmin adalah bersaudara kapanpun ia hidup dan dimanapun ia berada. Persaudaraan tersebut melintasi wilayah geografis, ruang dan waktu . Bahkan hubungan persaudaraan yang diikat dengan keimanan tersebut jauh lebih kuat daripada hubungan persaudaraan yang diikat dengan kekerabatan, nasab,  Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Seorang muslim adalah saudara bagi seorang muslim lainya” (HR. Bukhari-Muslim).
2. Menjaga kehormatannya dan tidak merendahkannya. Harga diri seorang muslim dijaga oleh Islam dan tidak diperkenankan bagi siapapun merusaknya. Rasulullah Saw bersabda: Cukup dinilai bertindak jahat, siapa yang merendahkan kawan muslimnya yang lain. Setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram (terhormat) darahnya, hartanya dan kehormatannya.” (HR. Muslim).
3. Mengikat tali persaudaraan atas dasar ketaqwaan kepada Allah swt. Tidak ada persaudaraan dan persahabatan yang abadi hingga hari kiamat. Kecuali bila ia didasarkan atas keimanan dan ketakwaan. Sementara itu persaudaraan dan persahabatan yang didasari atas harta, jabatan atau kepentingan duniawi lainnya akan berubah di hari kiamat menjadi permusuhan. Allah swt berfirman yang artinya “Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (QS. az-Zukhruf: 67)
4. Mencintainya dan menyayanginya. Sebuah masyarakat muslim tidak pernah akan bisa hidup tenteram, damai dan sejahtera kecuali apabila diantara sesama anggota masyarakat terjalin sifat rasa saling mencintai, mengasihi dan saling menyayangi yang menjadikan kebahagiaan seorang muslim adalah kebahagian bagi yang lain dan penderitaan seorang muslim adalah pula penderitaan buat yang lain. Sehingga setiap muslim berupaya memunculkan kebaikan buat orang lain dan menghilangkan keburukan darinya sebagaimana hal itu juga ia lakukan untuk dirinya sendiri.

Rasulullah Saw bersabda: “Tidak sempurna keimanan seorang diantara kalian sehingga ia mencintai buat saudaranya sesuatu yang ia cintai buat dirinya sendiri” (HR. Bukhori & Muslim).
Rasulullah Saw juga bersabda “Perumpamaan mukmindalam hal saling mencintai dan berkasih sayang adalah ibarat satu satu tubuh, apabila satu organnya merasa sakit, maka seluruh tubuhnya turut merasakan hal yang sama, sulit tidur dan merasakan demam.” (HR. Bukhori & Muslim).
5. Tidak memusuhinya dan mendamaikannya bila ada perselisihan. Islam melarang kita bermusuhan dengan sesama muslim karena seluruh kaum muslimin adalah bersaudara. Oleh karena itu orang muslim yang bermusuhan dengan sesamanya berarti ia telah merobek dan mencabik-cabik ikatan keimanan yang telah diberikan oleh Islam. Maka adalah menjadi tugas kita bersama untuk mempersatukan kembali dan mendamaikan diantara saudara kita yang berselisih dan bermusuhan. Allah swt berfirman yang artinya:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS.al-Hujuraat:10).
Perselisihan yang terjadi dalam pergaulan, persahabatan dan pergerakan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Apabila terjadi perselisihan, maka harus ada pihak yang mau menengahi atau mendamaikan secara adil, sehingga kedua belah pihak yang berselisih dan bertikai dapat kembali berdampingan. Terjadinya konflik dan berbagai pertentangan hingga terjadi permusuhan diantara sesama kaum muslimin adalah karena diantara mereka tidak memiliki keikhlasan, atau keikhlasannya telah hilang dari dirinya. Maka, ketika kita melihat perselisihan diantara kaum muslimin, Rasulullah saw mengajari umatnya untuk mendamaikan, bukan malah mengadu domba hingga menjadikan perselisihan semakin hebat. Allah swt berfirman yang artinya:
"mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul, oleh sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu; dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman." (QS. al-anfal:1
Dan dari Ummu Kultsum bin ‘Uqbah bin Abu Mu’aith, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Tidak termasuk berdusta orang yang mendamaikan manusia, yaitu dia mencari kebaikan atau berkata baik.” (HR. Bukhari-Muslim) Ingatlah firman Allah Swt, ketika kaum muslimin berselisih paham dengan sesama muslim
“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Hujuraat: 9).
Kebahagiaan di dunia mustahil diraih sendiri, sebagamana manusia tidak mampu hidup sendiri. Maka sudah menjadi kodrat untuk bahagia harus dengsn cara bersama-sama. Dari sinilah lahir proses saling berinteraksi memberi dan menerima. Maka Islam tidak mengenal cinta instant, mencinta cuma satu hari saja. Dalam mencinta memerlukan proses membina, membangun dan memeliharanya. Maka bila ada cinta satu hari atau cinta satu malam maka pasti tidak lain adalah cinta birahi (Naudzubillah tsumma na'udzubillah)   (Ahmad Thoha Husein/iogy/www.cybermafaza.com)

Selasa, 11 Februari 2014

PadaMu Kami Menyembah, PadaMu Kami Bermohon Pertolongan

Berdirilah engkau pada barisan Golongan Allah

Apapun masalahnya nggak bisa sendiri dalam memecahkannya. Maka Rasul pernah bilang. "Ya Rabbku jangan engkau serahkan aku pada diriku walau sekejap mata". Artinya kalau akhirnya masalah itu selesai maka lebih pada peran Allah yg lebih dominan

Berdirilah selalu dalam barisan orang-orang yang menolong agama Allah dan membela serta membantu kepentingan ummatNya. Bila demikian maka Allah pasti akan mengambil alih semua masalahmu.

Kalau energi kita hanya dibuang untuk romantika dan masa lalu lantas siapa yg memikirkan masa depan kita?. | kita berharap Allah yg mikir? | kalau keberpihakan pikiran, hati dan perasaan kita bukan untuk izzul Islam wal muslimin *meninggikan Islam dan kaum muslimin* maka jangan harap Allah akan membantu kepentingan kita. | apatah lagi kalau energi hati yg sedianya bisa untuk memikirkan ummat agama ini malah kita gelincirkan memikirkan yang remeh temeh atas nama persahabatan, hubungan dekat atau apapun itu maka hendak kemana biduk itu akan berlayar? 

Berkata Iman Ibnul Qoyyim, betapa banyak orang berkehendak sesuatu, maka bagaimana akan sampai bila dia mendayung sampan diatas lautan pasir?

 Maka jangan sekalipun kita mau dibuat lengah dan lemah oleh setan dengan merasa kita telah menjadi korban dari sebuah keadaan. Karena Allah menuntut kita menjadi pelaku aktif atas setiap peristiwa. Karena itulah kodrat kita sebagai manusia punya harga diri dan masyiah (kehendak). Bila terus saja merasa demikian maka artinya masih tipis keimanan kita akan takdir. Maka apakah ada jalan yg lebih baik dari istighfar?

 #jika tidak ada bahu untuk bersandar selalu ada lantai untuk bersujud (shinta ardjahrie-relawan yg mati muda memperjuangkan kehormatan Islam dan kaum muslimin)

Diluar sana ada banyak orang-orang muda yang menggetarkan penghuni langit dengan semangatnya berkorban dan berdakwah dijalan Allah.

Namun diluar sana ada juga orang yang hidup sengsara karena pengorbanan yang sia-sia. Hanya atas nama belas kasihan, persahabatan, partai, kelompok, golongan, perjanjian hawa nafsu dan kebutaan.

Hanyalah bagi muslim mencinta, merindu dan membenci karena Allah. Karena disitulah letak lezatnya Iman. 

Berdirilah dengan dada membusung dan kepala tegak meninggikan bendera Islam. Dan bisikkan bahwa Allah itu begitu Besar- Allahu Akbar. Dan sampaikan pada setiap peristiwa dan setiap masalah bahwa mereka itu kecil. Kabarkan pertolongan Dzat yang Maha Besar akan segera datang.

Bila sudah kakimu sekarang berdiri di medan perjuangan, maka bergeraklah dengan hati dan jiwamu, bukan sekedar untuk status pekerjaan atau beberapa lembar uang namun demi sebuah gerakan. 

In tansurullaha yansurkum wa yutsabbit aq daa makum

*untuk saudaraku sedarah seiman, yakinlah pertolongan Allah itu dekat | untuk adik-adikku, bukankah kita sudah begitu terbiasa dengan ujian Allah, maka jangan buang energi. Paculah diri mendekat pada Allah.. TanganNya sungguh luarbiasa dalam memberi pertolongan. | Mintalah doa kepada siapa yang melahirkan kita sungguh dia adalah surga yang hidup di dunia kita. Sebelum surga itu hilang dan pergi, datangi ia dan cium kakinya | jangan sekali-kali membuatnya gundah dan bersedih hati.

(hambaNya yang lemah-iogy baskara)

Jikalau Harus Galau, Gak Perlu Kacau


Kalau melihat orang galau, aku jadi ingat  seorang sahabat yang galau juga. Statusnya di facebook yang random dan curcol (#dia banget).  Aku datang kepadanya berlagak bisa sekedar memulihkan keadaan hatinya dengan ngobrol kecil kiri kanan, sekedar urun kuping, barangkali bisa meredakan galaunya. Apa lacur yang aku obrolin malah nambah dia makin galau.  Akhirnya aku jadi melow dan speechless. Berlagak seperti konsultan kejiwaan  meredakan galau tapi malah jadi kacaw. Sok tahu begitu lah...
“Dia” itu orang yang begitu dalam perhatiannya pada orang lain.
*okelah banyak orang yang suka kasih perhatian ke orang lain. Ada juga yang nggak sempat mandi gara-gara mikirkan si doi, mau tidur ingat do’i, bangun tidur apa lagi, melek mata langsung samber hape, “halo bagaimana kabarmu, yang?”.  Bukan seperti itu bentuk perhatian sahabatku itu pada orang,  itu sih seperti jatuh cinta cemen yang sering berjangkit di ruang gaul anak remaja. Atau galaunya orang yang sudah kadung deket banget bersahabat dengan orang yang kalau nggak sms, atau telpon rasanya seperti gersang. *
“Dia” seorang pekerja sosial. Hampir seluruh waktunya “dia” curahkan untuk klien-kliennya. Ada Puji, seorang anak penderita hydrocephalus, yang kata dokter divonis sudah tak terobatkan,yang dia kunjungi hampir setiap akhir pekan sambl membawa beberapa bungkus kresek isi jajanan, ada mbah Karsitem perempuan tua yang tinggal di pos ronda yang dihimpit  bangunan megah kos-kosan, kompleks kampus Soedirman, sosok yang terlupakan ditengah hiruk pikuk teriakan tentang ilmu humaniora, humanitas dan kedermawanan, “dia”  pula yang mengangkat kisahnya ke permukaan. Bahkan tentang Tasripin yang sempat menjadi buah bibir sampai ke teras Istana negara, hingga SBY pun perlu repot-repot mengirim sumbangan. “Dia”  pula yang pertama kali menuliskan tentang Tasripin dengan tulisan sederhana tanpa lipstik dan dramatisasi disana-sini sebagaimana tulisan banyak jurnalis di media yang bahkan nampak sekali mengeksploitasi Tasripin  demi  kepentingan deadline media dan atau atas nama pengajuan project proposal; dan “klien-klien“ lain yang tidak terhitung banyaknya.
“Kenapa harus stag kaya gini sih, mas?”, ungkapnya saat itu. Banyak memang hambatan yang harus dia atasi. Disaat yang sama aku sebenarnya punya potensi untuk membantu, tapi begitulah waktu hanya tercipta 24 jam saja.
Begitulah “dia”  nampak tertekan dan berpikir keras setiap ada hambatan atau tantangan yang merintangi jalannya, namun seperti biasa “dia”  terus bekerja-bekerja untuk mengurai kesulitan.  Aku ingat binar matanya ketika kami merancang sebuah lay-out ruangan untuk filantropi pengadaan ambulan gratis, tanda setuju dengan ide itu yang akhirnya kami kerja bersama-sama. Hemmm kecil sekali kontribusiku di acara itu,  dan dia terus bekerja.
Ya terus bekerja, bukan dengan “bekerja” yang ada dalam bayangan banyak orang, dengan gaji yang besar, sarana pendukung yang mumpuni bla..bla..bla. Bekerjanya “dia”   adalah terus melahirkan karya, dengan gaji yang tidak seberapa.  “Dia”  bahkan tidak sempat memikirkan diri sendiri, sekedar untuk memanjakan diri dalam arti foya-foya nggak ada dalam kamus pribadinya. Dia terus memberi dan berbagi, memikirkan penderitaan orang, ketika bertemu dengan peristiwa, selalu saja “dia”   bertanya “apa yang bisa aku lakukan untuk meringankan?”.  
Kegalauan itu lah yang mengantarkan dia ketempat yang barangkali tidak bisa kita jangkau, derajat syahid dan kematian yang indah, jumat beberapa pekan kemarin. Teringat wall di blognya “sayangilah makhluk yang ada di Bumi, maka Dzat yang ada dilangit akan menyayangimu” atau gambaran ke”sepi”annya di wall facebooknya, “Jika tidak ada bahu untuk bersandar, selalu ada lantai untuk bersujud”.
Maka demikianlah gambaran galau, yang tingkat dewa sekalipun sebenarnya nggak penting banget, kecuali kegalauan atau lebih tepatnya keprihatinan itu diletakkan untuk memikirkan keadaan saudara kita, berbagi untuk meringankan penderitaan mereka.
Selalu saja kita menjadi lemah, bila merasa menjadi korban keadaan. Menjadi subyek sebuah peristiwa pilu sekalipun lebih bermakna dan terhormat daripada  menjadi obyek sebuah pentas keglamouran.
Hidup cuma sekali, maka sayangilah semua manusia, apalagi manusia terdekatmu, sekalipun untuk melakukannya harus galau tingkat dewa. Semoga bisa jadi amal terbaik kita. (iogy baskara)


Senin, 10 Februari 2014

SHALAT LEZAT, HATI TENANG, STRESPUN HILANG


            Ujian hidup semakin hari semakin rapat. Kita jaga fisik kita agar tetap sehat. Kita jaga kontinuitas belajar kita. Kita jelang ujian dengan senang hati. Kita perdekat hubungan kita kepada Allah SWT dengan banyak berdzikir dan berdoa. Nah, shalat adalah media terbaik untuk berdzikir dan berdo’a meminta pertolongan kepada Allah SWT.
Berdzikir dan berdoa melalui shalat sebenarnya adalah kebutuhan manusia, namun banyak orang yang tidak menyadarinya. Sehingga banyak dari kita yang menganggap berdzikir dan berdoa yang dilakukan melalui shalat adalah sebuah beban. Mereka hanya menjalankan shalat karena ingin menggugurkan kewajiban, padahal shalat merupakan ibadah yang sangat fital dalam kehidupan seorang muslim.
Jika seorang muslim menjalankan shalat dengan baik, maka ia dapat menggapai kebahagiaan tertinggi.Sebagaimana dalam QS. Al-Muminun : 1,2 dan 9
Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya,................................................................................................ Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
Sebaliknya, jika sesorang serampangan dalam melaksanakan shalat, maka ia akan terperosok di Wail di jurang neraka Jahanam. Sebagaimana dalam QS. Al-Maun ayat 3-4.

Agar Shalat Terasa Lezat
            Manusia sangat membutuhkan makanan agar bisa tetap hidup, demikian juga kita membutuhkan shalat agar jiwa kita tetap hidup. Ketika kita menyadari bahwa shalat adalah sebuah kebutuhan, maka kita akan mampu menghayati, merenungi dan menikmati setiap gerakan serta bacaan shalat yang kita lakukan, sehingga shalat yang kita lakukan akan terasa lezat. Nah inilah shalat khusyu yang kita dambakan bersama.
            Khusyu tidak muncul dengan tiba-tiba, melainkan merupakan buah dari amal keseharian kita. Untuk menumbuhkan kekhusyuan dalam shalat, kita harus memastikan bahwa diri, hati, tempat dan pakaian kita adalah suci, baik, halal  dan bersih karena Allah adalah Dzat yang baik (thayyib), dan tidak akan menerima sesuatu kecuali yang baik (thayyib). Kita harus memastikan makanan dan minuman yang kita konsumsi adalah makanan dan minuman yang halal. Dengan mengkonsumsi yang halal, maka hati kita menjadi tenang (tidak merasa berdosa) sehingga kita akan mudah untuk khusyu dalam menjalankan shalat. Selain itu kita juga harus senantiasa menghindarkan diri dari hal-hal yang haram dan perbuatan maksiat, karena hal itu akan menyebabkan munculnya perasaan berdosa dan bersalah, sehingga hati kita tidak tenang. Hati yang tidak tenang menyebabkan kita sulit untuk meraih kekhusyu’an dalam shalat. Begitu pula kita juga harus  menjauhi segala hal yang menyibukkan dan menggangu shalat, termasuk dalam hal pakaian dan tempat. Karena itu hendaknya kita melakukan  shalat di tempat yang kondusif, tidak ramai dan gaduh.
a.      Persiapan shalat
Sebelum shalat, kita mengawali proses pembersihan tubuh dan jiwa dengan wudlu secara sempurna yakni berwudlu dengan  menghadirkan hati serta  menyambungkannya kepada Allah SWT. Kemudian kita berjalan ke Masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa dengan masih dan selalu menghadirkan hati serta  menyambungkannya kepada Allah SWT.
Ketika shalat berjama’ah akan dilaksanakan, hendaknya kita merapatkan shaf dan meluruskannya. Niatkan shalat yang kita lakukan  ikhlas semata-mata mengharap ridha dari Allah SWT. Kemudian konsentrasikan diri hanya untuk Allah SWT.
b.      Ketika shalat
Ketika kita sedang mendirikan shalat, berusahalah untuk menghindari berpalingnya hati dan anggota tubuh dari shalat. Renungi  setiap gerakan dan dzikir dalam shalat dengan tuma’ninah dan tidak terburu-buru dengan  tetap menghadirkan hati serta  menyambungkannya kepada Allah SWT
c.       Setelah shalat
Setelah kita mengucapkan salam, duduklah dengan tenang untuk berdzikir. Berdzikirlah dengan khusyu dan jagalah suasana rohani yang tenteram, indah dan damai serta rasakan getarannya yang masih membekas untuk terus menerus berdzikir dan lantunkan lafal-lafal dzikir dengan pelan dengan merenungi maknanya.
Tautkan rohani anda untuk bersua kembali dengan shalat fardlu yang datang berikutnya, sehingga shalat fardlu itu merupakan ’ kekasih ‘ yang dinantikan dan dirindukan
Dengan Shalat Hati Tenang, Stres pun Hilang
Shalat adalah bersatu padunya akal , ruh dan fisik secara harmonis dalam  memuji, sujud, patuh  dan tunduk beribadah kepada Allah SWT dengan tata cara tertentu. Shalat merupakan media tarbiyah yang melekat dalam jati diri setiap muslim. Shalat mendidik setiap muslim dengan pendidikan yang menakjubkan, sehingga memformatnya menjadi manusia yang sempurna. Seorang muslim yang mengerjakan shalat dengan baik maka akan membuat kehidupannya penuh kedamaian, ketenteraman, berkah, kebaikan, kedisiplinan, rasa persaudaraan sesama muslim serta terhindar dari perbuatan tercela, keji dan mungkar.
Dalam muktamar ke-7 Organisasi Al’Ijaz al-Ilmi sebuah lembaga yang mengkhususkan diri meneliti rahasia dan keajaiban ilmu pengetahuan yang ada dalam kandungan Al-qur’an dan Hadist, di Dubai Qatar menyimpulkan bahwa rutinitas shalat yang baik tidak hanya bernilai ibadah, tetapi juga mendatangkan manfaat dari segi aqliyah, ruhiyah dan jasadiyah.
Begitu pula, Prof.Dr, H.A.Saboe, Guru Besar Universitas Padjajaran telah melakukan penelitian dan menggali secercah hikmah yang dapat diperoleh dari gerakan-gerakan ibadah shalat yang tidak sedikit artinya bagi kesehatan jasmaniyah, dan dengan sendirinya membawa efek pula kepada kesehatan rohaniyah (mens sana in corpore sano).
Demikian itu karena shalat yang kita lakukan dengan baik akan membiasakan kita untuk berfikir positif, melatih konsentrasi, memperkuat daya ingat dan memadukan keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan. Dengan shalat otak kita menjadi fresh dan nyaman kembali sehingga hal itu akan dapat mengheningkan dan merelaksasikan  pikiran kita.
Shalat yang kita jalankan dengan penuh kesungguhan, khusyu dan ikhlas akan menumbuhkan persepsi, dan motivasi positif. Orang yang mengamalkan shalat dengan baik, akan menghadapi hidup secara realistis dan optimis. Dengan shalat yang baik kita akan merasakan bahwa Allah SWT adalah segala-galanya. Dan dengan demikian kita akan terhindar dari rasa takut dan khawatir, sehingga hatipun menjadi tenang. Hati yang tenang akan menyebabkan kita merasa rileks dan tidak tegang (stress), yang pada gilirannya  otak akan mudah menyerap pelajaran yang kita pelajari. (K.H.Ahmad Thoha Husein Al Mujahid/ANIS)
Wallahu’alam Bisshawab

Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Akal


Bukan Agama atau Science tapi Agama dan Science

Manusia terdiri atas tiga unsur atau komponen dasar, yaitu akal, qolbu, dan jasad. Manusia yang baik adalah yang mampu mengoptimalkan fungsi tiga unsur tersebut sesuai dengan karakteristik dan kodratnya masing-masing untuk beribadah kepada Allah swt. 
Akal
Manusia dapat menjalankan agama dengan baik kalau memahami agama itu dengan baik. Untuk dapat memahami agama dengan baik,  maka haruslah memahami wahyu dengan baik. Dan di sinilah letak peran akal manusia, yaitu untuk memahami wahyu. Artinya wahyu tidak dapat dipahami dengan baik, jika tidak mempergunakan akal.
Di dalam Al-Quran kata akal (‘aql) disebut sebanyak 48 kali, yang semuanya berbentuk kata kerja (fi’il). Penyebutan dengan bentuk kata kerja menunjukkan fungsionalisasi dari akal itu secara lebih spesifik dan dapat diklasifikasikan menjadi dua fungsi:
1.      Sebagai alat untuk memahami dan mengolah alam semesta (otak rasional)
2.      Sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. (otak spiritual)
Jadi dalam perspektif Al-Quran kata akal lebih dipakai untuk memberi penekanan pada fungsi otak, bukan pada otak secara structural. Otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia yang pada gilirannya akan mengantarkannya menuju Allah swt.
Menurut Taufiq Pasiak dalam bukunya “Revolusi IQ/EQ/SQ, antara Neurosains dan Al-Quran”, fungsi otak berturut-turut berlangsung sebagai berikut:
1.      Homunculus sensorik, tempat rekaman indera diterima dan diatur otak. Otak rasional mempeoleh informasi dari alat-alat indera itu.
2.      Otak intuitif, mengelola informasi tersebut dan menginstruksikan hasilnya kepada indera-indera tersebut dan memformulasikannya dengan tepat dan bijak.
3.      Otak spiritual, berfungsi merenungkan, memahami informasi tersebut dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah swt.
Secara spekulatif fungsi otak ketiga inilah yang diperankan oleh Al-Qolbu. Orang yang mampu mengoptimalkan ketiga fungsi otak tersebut tentunya dia adalah orang yang berakal, berilmu, dan muslim dengan tingkat keislaman yang sempurna.
Akal dan Ilmu pengetahuan
Islam adalah agama yang sangat menghormati ilmu, mengangkat orang-orang yang berilmu dan memberikan kedudukan yang tinggi kepada mereka. Ayat yang sangat populer dalam Al-Quran berbunyi:
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat...”
(QS. 58:11)
Kedudukan yang mulia ini tentu tidak dapat diraih oleh mereka yang tidak mau mengfungsikan akalnya.  Betapa akal merupakan anugerah Allah yang sangat berharga dalam kehidupan kita. Kita diberi akal sehat seharusnya kita gunakan untuk hal yang baik dan bermanfaat sebagai bentuk rasa syukur kita kepada Allah swt.
Ilmu pengetahuan dan wahyu
Dibanyak ayat Al-Quran, Allah memerintahkan kita untuk mempergunakan akal dengan baik dalam usaha untuk memahami wahyu dan ayat-ayatNya. Logikanya akal kita tidak akan bertentangan dengan wahyu tersebut. Sepanjang hidup, kita diperintahkan untuk mencari ilmu pengetahuan, mempergunakan akal dengan baik dalam memahami wahyu dan ayat-ayat Allah adalah jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan tersebut. Nah, di sini tegas kita katakan bahwa agama Islam selaras dan sejalan dengan logika akal dan ilmu pengetahuan, oleh karena itu tidak dikenal dalam tarikh islam, konfrontasi (pertentangan) antara wahyu dan akal, atau antara Islam dan ilmu pengetahuan, sebagaimana pertentangan itu terjadi di Barat yang mengawali munculnya sekularisme. Sebagai salah satu fakta adalah terbunuhnya Galileo Galilei di tiang gantungan gereja yang menjadi bukti nyata adanya konfrontasi tersebut. Anggapan terjadinya pertentangan antara wahyu dan akal (pemikiran) atau wahyu dan ilmu pengetahuan sebenarnya adalah proses perjalanan penggunaan akal yang belum final. Wahyu bersifat mutlak benar, sedangkan akal bersifat relatif, bisa benar dan bisa salah. Sebagaimana dimaklumi bahwa hasil pemikiran akal seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Karena itu tidak mungkin terjadi pertentangan antara wahyu dan akal (pemikiran) atau wahyu dan ilmu pengetahuan kecuali mengenai penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan dan belum final. Dalam kaitanya dengan masalah ini yang patut kita curigai tentu akal atau pemikiran sebagai produk akal kita, bukan wahyu (Al-Quran maupun Al Hadits). Dan kita tentu tidak sepakat dengan golongan rasionalis yang mengambil sikap sebaliknya dengan mencurigai atau meng-cancel wahyu. Sehingga mereka terjerumus ke dalam jurang kekafiran (nas’alullahu Al Afiah).
Agama hanya bagi mereka yang berakal
Agama ini sesuai dengan akal dan tidak ada kewajiban agama yang dibebankan kepada mereka yang tidak berakal. Mereka yang mukallaf dan terkena beban taklif adalah mereka yang baligh dan berakal. Adapun orang gila maka ia tidak layak untuk menerima agama dan menjalankan kewajiban agama. Al-Quran sebagai mu’jizat yang sangat hebat dan luar biasa itu tidak ada nilainya apa-apa kalau dihadapkan kepada mereka yang tidak berilmu dan berakal.
Allah memberi mu’jizat kepada Nabi islam Rasulullah Muhammad saw. bukan dengan ayat kauniyah (yang berbentuk fisik) yang menjadikan kepala tunduk, sebagaimana ayat yang berbunyi:
jika kami menghendaki niscaya kami turunkan kepada mereka mu’jizat dari langit, yang akan membuat tengkuk mereka tunduk dengan rendah hati kepadanya” (QS. 26:4)
Tetapi Allah memberi mu’jizat berupa ayat ilmiah, ayat-ayat yang sarat dengan ilmu yang menjadikan akal tunduk. Memang di awal islam ketika rasulullah saw masih di mekah atas permintaan kafir quraisy, Allah memberikan mu’jizat dengan terbelahnya bulan yang satu belahan di atas jabal qoinuqo’ dan yang satu di atas jabal abi qubais,
“ saat (hari kiamat) semakin dekat, bulanpun terbelah.” (QS. 54:1)
tetapi kemudian mereka mendustakannya,
“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mu’jizat) mereka berpaling dan berkata ‘ini adalah sihir yang terus-menerus’ ”(QS. 54:2)
Oleh karena itu pada waktu lain ketika mereka minta mu’jizat kauniyah turunlah ayat:
Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) sedang ia dibacakan kepada mereka?...” (QS. 29:51)
Cukuplah Al-Quran sebagai mu’jizat abadi rasulullah saw hingga hari kiamat, bukan merupakan mu’jizat kauniyah tetapi mu’jizat ilmiah.
Al-Ghazali berkata dalam bukunya Ma’arijul-qudsi:
“Bahwa sesungguhnya Al-Quran adalah bagaikan cahaya dan akal bagaikan penglihatan.
” … dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al Qur'an).” (QS. 4:174)
Tanpa penglihatan dan cahaya, seseorang tidak akan dapat melihat sesuatu. Dengan cahaya saja tanpa penglihatan, seseorang juga tidak akan dapat melihat sesuatu. Dengan penglihatan saja tanpa cahaya, seseorang juga tidak akan mampu untuk melihat sesuatu ”
Orang yang dapat melihat kebenaran adalah mereka yang mempergunakan kedua-duanya, wahyu (Al Quran dan Hadits) dan akalnya. Karena itu, sebagai bukti syukur kita, marilah kita gunakan akal kita dengan sebaik-baiknya untuk memahami ayat-ayat Allah dalam rangka mendekatkan diri dan beribadah kepadaNya.

Bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bersifat netral (bebas sebuah nilai) karena pada hakikatnya ia merupakan refleksi dari kepribadian, budaya, pola pikir, agama dan masyarakat tertentu. Kita perlu mengakses, mengikuti dan mencermati gejala ilmiah yang menjadi trend baru dan positif dari para ilmuwan. Dunia telah menyaksikan betapa model kajian interdisipliner yang menitikberatkan pada beberapa bidang disiplin ilmu telah meruntuhkan konsepsi yang selama ini dibangun atas asumsi yang diyakini oleh paham sekuler dan liberal bahwa sains (ilmu pengetahuan ) bersifat netral. Sebagai contoh, buku Taufiq Pasiak di atas yang mengolah perkembangan spektakuler dalam neurosains. Buku itu merupakan uraian lengkap kajian interdisipliner yang menitikberatkan pada beberapa bidang ilmu yang bukan secara kebetulan berkaitan erat. Bidang-bidang itu antara lain neuroanatomi, neurofisiologi, psikologi, psikologi kognitif, filsafat, menejemen dan Ulumul-Quran. Kajian seperti ini membuahkan hasil yang sangat meyakinkan, yakni hubungan yang tak terelakan antara ilmu pengetahuan dan agama.




Kemunduran Islam
Kalau kita membuka lembaran sejarah kebudayaan islam barangkali kita akan menemukan bahwa musibah besar yang menimpa ummat islam sampai saat ini adalah kemerosotan dan kemunduran kaum muslimin yang memunculkan perasaan inferior terhadap budaya islam itu sendiri yang pada giliranya akan membawa ummat semakin skeptis terhadap ajaran agamanya.
Dalam sejarah tercatat bahwa awal kemunduran islam dan runtuhya superioritas militer islam ditandai dengan kegagalan dinasti Utsmaniyah dalam menyerang Vienna pada 1683, disusul kekalahan imperium Moghol dengan EIC (English Eash India Company), suksesnya agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1798 dan hampir bersamaan itu pula negeri-negeri imperialis baat seperti Belanda, Portugis, Perancis, Inggris dan Spanyol menjadikan negeri-negeri islam baik di Asia maupun di Afrika sebagai negeri jajahan.
Memang semua musibah adalah dari Allah swt. Segala sesuatu sudah di catat di lauh mahfuzh, tetapi jangan kemudian kita bersifat fatalis, kita harus berbuat, mengevaluasi diri, dan mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya.
Sebagian cendekiawan muslim kontemporer mencoba untuk mengidentifikasi penyebab kemunduran berdasarkan aspek-aspek eksternal seperti fenomena-fenomena sosial, politik, ekonomi, teknologi, budaya, dan sebagian lain mengidentifikasi akar penyebab kemunduran berdasar aspek internal, yaitu kesalahan persepsi ummat islam terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Setelah kaum imperialis gagal untuk mengeksplor ide-ide dan pandangan hidup mereka ke dunia islam secara konfrontatif mereka mulai memasukan ide-ide dan pandangan hidup itu dengan menyelinap.
Namun sayangnya banyak anak-anak kita, generasi-generasi muslim yang terpesona dengan kemajuan barat, sehingga ia dengan mudah terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran barat. Mereka dengan mudah mengadopsi begitu saja ilmu-ilmu dari barat seperti materialisme, liberalisme, sekularisme, marxisme, feminisme, demokrasi dan sebagainya. Padahal ilmu-ilmu itu merupakan refleksi dari budayta-budaya asing yang secara diametral bertentangan dengan islam.
Menjemput kejayaan islam
Kejayaan dan kegemilangan peradaban islam tidak akan kembali kecuali kita berpulang kepada tuntunan Allah Al-Quran dan Al-Hadits, namun kita perlu tahu bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan sesuatu yang melekat pada diri seseorang, yang ada di pikiran yang kemudian meresap dalam sanubari sehingga megantarkan orang tersebut untuk lebih mengenal Allah swt.  dan menumbuhkan khosyyah atau taqwallah.
Adapun sesuatau yang ada di luar kita itu bukan ilmu, tetapi informasi, fakta atau obyek. Sebagai perumpamaan, hasil perkalian 2x2=4 yang ditulis pada secarik kertas dan diberikan kepada seorang bayi maka tidak akan berarti apa-apa. Begitu pula Al-Quran Al-Karim sebagai sumber ilmu pengetahuan tidak berarti apa-apa kalau dihadapkan kepada orang kafir.
Begitu pula Al-Quran sebagai ayat-ayat qouliyah (tanda-tanda kebesaran Allah) kalau kita hanya melihat fisikalnya, simbol-simbolnya, huruf-hurufnya, lambang-lambangnya maka tidak akan banyak bermakna. Dan ayat-ayat kauniyat (tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta) tidak akan bermakna kalau kita hanya melihat sisi fisiknya saja. Jadi demi memperoleh kembali kejayaan islam kita harus kembali mengkaji dengan intens ayat-ayat Allah baik yang qouliyah maupun yang kauniyat.
Ini memang menjadi tugas yang berat dan perjuangan bagi kita. Karena pada kenyataannya ide-ide sekuler telah mengkontaminasi pola pikir generasi-generesi muda kita, yang hanya menjadikan materi sebagai tujuan akhir. Mereka berusaha mati-matian hanya untuk meraih kenikmatan materi dan kesenangan psikologis semata, padahal seharusnya kehidupan kita di alam fonomenal ini kita jadikan jembatan/wasilah/sarana untuk meraih kebahagiaan hakiki di akhirat.

“Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah padamu kebahagiaan negeri akhirat..”
(Al-Qashash:77)
Gunakanlah waktu dan kesempatan yang masih diberikan oleh Allah kepada kita untuk hal yang bermanfaat. Marilah kita berbuat semampu kita untuk kejayaan islam. (Ahmad Thoha Husein Al Hafidz/ANIS)