Allah berfirman
Maka masing-masing (mereka itu) Kami
siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya
hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang
mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di
antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak
Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
(Al
Ankabut : 40)
Seorang laki-laki
terbujur lemah diantara sanak saudaranya, dalam keadaan sekarat. Dilihatnya
ayah bundanya menangis maka dia bertanya, “Mengapa kalian menangis wahai ayah
bunda?”| “Bagaimana kami nanti sepeninggal mu Nak?, mestinya kami yang
mendahuluimu”. Dilihatnya istrinya juga tersedu. “Mengapa menangis Istriku?” |
“Aku pasti akan kehilanganmu Mas, apalagi anak-anak”. Sontak laki-laki ini
dengan segala kelemahan fisiknya menangis tersedu-sedu, bahkan lebih keras lagi
dibandingkan yang lain. Ayahnya bertanya, “Kenapa Nak, ada apa menangis?” |
“Bunda, ayah, dan juga anak istriku, sampai selemah ini ketika kematian sudah
begitu dekat, tidak ada satupun yang memikirkan bagaimana saya nanti setelah
kehidupan ini. Kalian semua masih saja memikirkan diri sendiri”,
Fragmen diatas
menyentak kesadaran kita bahwa kesedihan, dimasa kini masih tersandera pada
kepentingan individualistik. Inilah dunia kita sekarang ini. Dosa manusia telah
menutup potensi rabbaniyah ada disetiap
insan. Berkaca pada Surah Al Ankabut: 40 diatas, bahwa semua musibah yang
menimpa, banjir yang bergilir tidak segera berakhir, gempa bumi yang diramalkan sewaktu-waktu akan menampakkan
energinya diberbagai tempat di Nusantara ini, atau erupsi gunung yang silih
berganti, belum lepas Sinabung, kembali Kelud bergejolak dan entah gunung
manalagi yang siap meletuskan magmanya. Semuanya, adalah hentakan dari Allah,
Dia memberi peringatan kepada kita bahwa sebab musibah itu tidak lain karena
kedzaliman kita dalam membuat dan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi dan
itu adalah adzab dari Allah SWT untuk kita.
Sesungguhnya
dosa-dosa akan berakibat pada :
1. Hilangnya Rasa Takut Kepada Allah
Salah
satu yang sangat nyata dari pengaruh maksiat kita kepada Allah adalah begitu
besar takutnya kita pada MATI. Sabtu dua
pekan berselang, Gempa dengan kekuatan 6,5 skala Richter (SR) terjadi pukul
12.14, Sabtu (25/1/2014), dengan kedalaman 48 kilometer dan 104 kilometer barat
daya Kebumen, Jawa Tengah, tepatnya di 8.48 Lintang Selatan, 109.17 Bujur
Timur. Kejadian tersebut persis saat ummat Islam sedang menunaikan sholat
dhuhur. Ada beberapa laporan lucu mengenai hal ini dibeberapa masjid di
Banyumas. Ketika gempa terjadi ada yang serta merta jamaahnya kabur
menyelamatkan diri, bahkan ada pula yang Imamnya lebih dulu kabur dibandingkan
jamaahnya.
Nyata sekali dari
kejadian tersebut, bahwa ketakutan kita akan mati begitu menghantui kita
padahal kita tahu dibumi manapun kita berdiam selalu terhampar sebab-sebab
kematian. Dikisahkan dalam sebuah hikayat, bahwa suatu saat ada harimau yang
turun ke kampung mengakibatkan kepanikan. Suatu saat harimau tersebut menuju
sebuah mushola yang penuh sesak orang shalat berjamaah. Terang saja mengetahui
ada harima yang masuk, maka semua orang bubar lari dari shalatnya kecuali satu
orang. Sekilas saja harimau itu mendatangi si pemberani itu yang masih saja
khusyuk menunaikan shalatnya, kemudian pergi begitu saja. Setelah Si Harimau
pergi, orang-orang bergegas mendatangi mushola itu.
“Mas kenapa kamu nekad sekali?. Ada harimau
ngamuk masih saja diam di mushola”. | “Bagaimana saya lari dari harimau
sedangkan saya sedang berdiri menghadap Tuhannya Harimau”, tukasnya.
Jawaban terakhir inilah
yang perlu kita renungkan, sebanyak dan sebesar apapun musibah yang bakal
menimpa kita maka tidak ada yang perlu kita takutkan karena kita berdekat-dekat
dengan Allah yang memiliki musibah.
Banyak yang kita
takutkan didunia ini, kematian, bangkrut, jatuh miskin, kehilangan anak istri,
jatuh sakit, kecelakaan, semuanya kita khawatirkan kecuali satu TAKUT KEPADA
ALLAH, bahkan kita tidak merasa malu bermaksiat
kepada Allah SWT.
2.
Hilangnya
Rasa Malu Kepada Allah
Ada seorang wanita tua yang datang kepada Rasulullah
SAW, ia berkata pada Rasulullah, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya sudah banyak
berbuat dosa besar, maka berilah saya nasehat”. | “Banyaklah berdoa dan minta
Taubat kepada Allah”. | “ Ya Rasul, seandainya Allah mengampuni saya, tetapi
saya bermaksiat diatas bumiNya, pasti kelak di hari kiamat bumi yang telah
menyaksikan kemaksiatan saya tidak akan rela dan melemparkan tuntutan kepada
saya dan bersaksi atas dosa-dosa yang saya lakukan diatasnya”. | Rasulullah
menghiburnya, “Wahai ibu pada hari itu Allah mengganti untukmu dengan bumi yang
baru”. | “Tetapi bukankah langit juga melihat, karena saya bermaksiat
dibawahnya, maka pasti dia akan bersaksi atas dosa-dosa yang saya lakukan”.
|”Pada hari itu langit dilipat seperti lipatan buku, sehingga langit tidak akan
bersaksi”. Wanita itu terdiam kemudian bertanya lagi, “Baiklah ya Rasul, kalau
keduanya tidak akan bersaksi maka bagaimana dengan Malaikat Kiraman Kaatibin
yang mencatat setiap amal, bukankah dia menyaksikan dan akan menjadi saksi?” |
“Ibu, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghabus keburukan”. "Memang
benar ya Rasulullah, semua itu adalah hak yang pantas didapatkan orang yang
bertaubat. Tapi rasa malu pada Allah di hari kiamat, siapa yang mampu
menanggungnya? Padahal engkau pernah bersabda; `Ketika datang hari kiamat,seorang
hamba akan menyebutkan dosa-dosanya sehingga ia merasa malu pada Allah.
Kemudian ia berkeringat karena rasa malu itu, sampai-sampai keringat di antara
mereka ada yang mencapai lutut, ada yang sampai pusar, bahkan ada yang sampai
leher."
Kemudian Rasulullah saw. bersabda; "Wahai orang-orang beriman, ingatah hari itu (kiamat), dan janganlah kalian lalai terhadapnya. Dan bertaubat lah dan beribadah kalian semua pada Allah serta berdekat-dekadah kalian pada-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun”.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda; "Wahai orang-orang beriman, ingatah hari itu (kiamat), dan janganlah kalian lalai terhadapnya. Dan bertaubat lah dan beribadah kalian semua pada Allah serta berdekat-dekadah kalian pada-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun”.
Sesungguhnya kebiasaan melakukan dosa akan
menyebabkan hilangnya rasa malu kepada Allah. Hati itu menjadi batu,
kepekaannya menjadi hilang. Kita tidak lagi merasa bahwa Allah memiliki
penglihatan yang jangkauannya menyentuh hingga ke dasar hati kita. Imam Ibnul
Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa malu itu ada dua macam yaitu (i) malu
kepada manusia; dan (ii) malu kepada Allah. Kalau seorang manusia itu masih
punya malu kepada manusia maka masih ada harapan malu kepada Allah. Kalau
seseorang malu kepada Allah maka pasti ia juga akan malu kepada Allah. Bila
manusia itu punya malu kepada manusia pasti dia juga akan punya malu kepada
Allah. Inilah yang hilang dilingkungan kita, hilang didunia pergaulan kita.
Pada masa Imam Ahmad bin Hambal hidup seorang
wanita yang datang meminta fatwa. “Wahai Imam, saya ini seorang pembuat
roti, rumah saya diperempatan jalan dibawah lampu penerangan negara. Kalau
malam tiba ketika membuat roti matikan lampu,saya buka pintu rumah sehingga cahaya
lampu negara itu masuk ke rumah saya. Apa hukumnya dengan roti yang saya buat
itu, sedangkan siangnya saya jual ke pasar?”.
Kita perlu belajar
kepada wanita tadi, yang dia merasa malu mengambil dan menikmati keuntungan
dengan cara yang bukan haknya, walaupun tidak ada satu pun diantara tetangganya
yang mempermasalahkannya. Ia malu sekiranya nanti Allah bertanya tentang
rotinya di hari kiamat. Rasa malu ini mari kita pupuk. Rasa malu kepada manusia
ketika melakukan dosa, melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sedangkan malu
kepada Allah membuatnya meninggalkan dosa ada atau tidak adanya manusia, disaat
sepi atau ramainya manusia. Kita meninggalkan maksiat karena kita tahu Allah
Maha melihat dan Maha mengawasi hamba-hambaNya.
Nabi pernah
mengumpulkan para shahabatnya, beliau berkata,”Wahai shahabatku malulah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”. | “wahai Rasulullah, itu sudah
mampu kami lakukan”| “ Bukan itu maksudku, yang dimaksud malu kepada Allah
adalah kalian (i) menjaga kepala dan apa yang ada didalamnya, dari matamu,
lisanmu, pendengaranmu juga fikiranmu; (ii) hendaklah kalian menjaga perutmu,
tentang apa yang engkau masukkan kedalamnya; (iii) dan hendaknya kalian
senantiasa mengingat mati dan musibah yang emnimpa manusia. Barangsiapa yang
hidupnya untuk mencari keridloan Allah maka ia meninggalkan semua kebanggannya
di dunia. Barangsiapa yang melakukan itu, maka sesungguhnya ia benar-benar malu
kepada Allah.
Ketika Khalifah Al
Manshur di baiat, maka sebagaimana kebiasaan yang berlangsung maka yang pertama
kali yang dilakukan adalah meminta nasehat kepada ulama besar di zaman itu,
yaitu Muqathil bin Sulaiman. “Wahai khalifah, yang mana engkau hendak mengambil nasehat dari saya,
dari yang saya dengar (Al Qur’an & Sunnah) atau yang saya lihat (pengalaman
hidup)?. |”Saya ingin dari apa yang kamu lihat” | “Baiklah kita belajar kepada
Khalifah Umar bin Abdul Azis, beliau meninggal dengan meninggalkan sebelas
putra putri. Beliau meninggal dengan mewariskan harta 18 dinar. Lima dinar
untuk beli kain kafan sedangkan empat dinar untuk biaya pemakamannya sehingga
hanya sisa sembilan dinar. Bisa kita bayangkan berapa yang diterima oleh
masing-masing dari putra/putri kholifah Umar bin Abdul Azis. Padahal masa itu
adalah waktu dimana orang bingung berkeliling negeri mencari siapa diantara
penduduknya yang berhak menerima zakat, demikian terjadi karena kemakmuran
merata dimana-mana. Sementara khalifah sebelumnya sebelas anaknya menerima
warisan satu juta dinar.Namun pada hari itu wahai Al Manshur, saya melihat
salah seorang anak Khalifah Umar bin Abdul Azis menginfakkan seratus ekor unta
beserta dagangan diatasnya, sedangkan saya juga menyaksikan salah satu anak
dari Sulaiman bin Malik (khalifah sebelumnya) bernama Hisyam bin Malik,
meminta-minta di pojok pasar.
Disinilah, maka hanya
Allah tempat kita memohon rasa aman, memohon rizki. tidak ada kebahagiaan
selain berdekat-dekat dengan Allah SWT (Ust. Nur Hamdan, Lc/ANIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar