Kamis, 06 Februari 2014

Dosa : Penghilang Takut dan Penghapus Malu

Allah berfirman
Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, Maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak Menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang Menganiaya diri mereka sendiri.
(Al Ankabut : 40)

Seorang laki-laki terbujur lemah diantara sanak saudaranya, dalam keadaan sekarat. Dilihatnya ayah bundanya menangis maka dia bertanya, “Mengapa kalian menangis wahai ayah bunda?”| “Bagaimana kami nanti sepeninggal mu Nak?, mestinya kami yang mendahuluimu”. Dilihatnya istrinya juga tersedu. “Mengapa menangis Istriku?” | “Aku pasti akan kehilanganmu Mas, apalagi anak-anak”. Sontak laki-laki ini dengan segala kelemahan fisiknya menangis tersedu-sedu, bahkan lebih keras lagi dibandingkan yang lain. Ayahnya bertanya, “Kenapa Nak, ada apa menangis?” | “Bunda, ayah, dan juga anak istriku, sampai selemah ini ketika kematian sudah begitu dekat, tidak ada satupun yang memikirkan bagaimana saya nanti setelah kehidupan ini. Kalian semua masih saja memikirkan diri sendiri”,
Fragmen diatas menyentak kesadaran kita bahwa kesedihan, dimasa kini masih tersandera pada kepentingan individualistik. Inilah dunia kita sekarang ini. Dosa manusia telah menutup potensi rabbaniyah  ada disetiap insan. Berkaca pada Surah Al Ankabut: 40 diatas, bahwa semua musibah yang menimpa, banjir yang bergilir tidak segera berakhir, gempa bumi yang  diramalkan sewaktu-waktu akan menampakkan energinya diberbagai tempat di Nusantara ini, atau erupsi gunung yang silih berganti, belum lepas Sinabung, kembali Kelud bergejolak dan entah gunung manalagi yang siap meletuskan magmanya. Semuanya, adalah hentakan dari Allah, Dia memberi peringatan kepada kita bahwa sebab musibah itu tidak lain karena kedzaliman kita dalam membuat dan menyebarluaskan kerusakan di muka bumi dan itu adalah adzab dari Allah SWT untuk kita.

Sesungguhnya dosa-dosa akan berakibat pada :
1.   Hilangnya Rasa Takut Kepada Allah
Salah satu yang sangat nyata dari pengaruh maksiat kita kepada Allah adalah begitu besar takutnya kita pada MATI.  Sabtu dua pekan berselang, Gempa dengan kekuatan 6,5 skala Richter (SR) terjadi pukul 12.14, Sabtu (25/1/2014), dengan kedalaman 48 kilometer dan 104 kilometer barat daya Kebumen, Jawa Tengah, tepatnya di 8.48 Lintang Selatan, 109.17 Bujur Timur. Kejadian tersebut persis saat ummat Islam sedang menunaikan sholat dhuhur. Ada beberapa laporan lucu mengenai hal ini dibeberapa masjid di Banyumas. Ketika gempa terjadi ada yang serta merta jamaahnya kabur menyelamatkan diri, bahkan ada pula yang Imamnya lebih dulu kabur dibandingkan jamaahnya.
Nyata sekali dari kejadian tersebut, bahwa ketakutan kita akan mati begitu menghantui kita padahal kita tahu dibumi manapun kita berdiam selalu terhampar sebab-sebab kematian. Dikisahkan dalam sebuah hikayat, bahwa suatu saat ada harimau yang turun ke kampung mengakibatkan kepanikan. Suatu saat harimau tersebut menuju sebuah mushola yang penuh sesak orang shalat berjamaah. Terang saja mengetahui ada harima yang masuk, maka semua orang bubar lari dari shalatnya kecuali satu orang. Sekilas saja harimau itu mendatangi si pemberani itu yang masih saja khusyuk menunaikan shalatnya, kemudian pergi begitu saja. Setelah Si Harimau pergi, orang-orang bergegas mendatangi mushola itu.
 “Mas kenapa kamu nekad sekali?. Ada harimau ngamuk masih saja diam di mushola”. | “Bagaimana saya lari dari harimau sedangkan saya sedang berdiri menghadap Tuhannya Harimau”, tukasnya.
Jawaban terakhir inilah yang perlu kita renungkan, sebanyak dan sebesar apapun musibah yang bakal menimpa kita maka tidak ada yang perlu kita takutkan karena kita berdekat-dekat dengan Allah yang memiliki musibah.
Banyak yang kita takutkan didunia ini, kematian, bangkrut, jatuh miskin, kehilangan anak istri, jatuh sakit, kecelakaan, semuanya kita khawatirkan kecuali satu TAKUT KEPADA ALLAH, bahkan kita tidak merasa malu bermaksiat  kepada Allah SWT.

2.                   Hilangnya Rasa Malu Kepada Allah
Ada seorang wanita tua yang datang kepada Rasulullah SAW, ia berkata pada Rasulullah, “Ya Rasulullah sesungguhnya saya sudah banyak berbuat dosa besar, maka berilah saya nasehat”. | “Banyaklah berdoa dan minta Taubat kepada Allah”. | “ Ya Rasul, seandainya Allah mengampuni saya, tetapi saya bermaksiat diatas bumiNya, pasti kelak di hari kiamat bumi yang telah menyaksikan kemaksiatan saya tidak akan rela dan melemparkan tuntutan kepada saya dan bersaksi atas dosa-dosa yang saya lakukan diatasnya”. | Rasulullah menghiburnya, “Wahai ibu pada hari itu Allah mengganti untukmu dengan bumi yang baru”. | “Tetapi bukankah langit juga melihat, karena saya bermaksiat dibawahnya, maka pasti dia akan bersaksi atas dosa-dosa yang saya lakukan”. |”Pada hari itu langit dilipat seperti lipatan buku, sehingga langit tidak akan bersaksi”. Wanita itu terdiam kemudian bertanya lagi, “Baiklah ya Rasul, kalau keduanya tidak akan bersaksi maka bagaimana dengan Malaikat Kiraman Kaatibin yang mencatat setiap amal, bukankah dia menyaksikan dan akan menjadi saksi?” | “Ibu, sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu akan menghabus keburukan”. "Memang benar ya Rasulullah, semua itu adalah hak yang pantas didapatkan orang yang bertaubat. Tapi rasa malu pada Allah di hari kiamat, siapa yang mampu menanggungnya? Padahal engkau pernah bersabda; `Ketika datang hari kiamat,seorang hamba akan menyebutkan dosa-dosanya sehingga ia merasa malu pada Allah. Kemudian ia berkeringat karena rasa malu itu, sampai-sampai keringat di antara mereka ada yang mencapai lutut, ada yang sampai pusar, bahkan ada yang sampai leher."

Kemudian Rasulullah saw. bersabda; "Wahai orang-orang beriman, ingatah hari itu (kiamat), dan janganlah kalian lalai terhadapnya. Dan bertaubat lah dan beribadah kalian semua pada Allah serta berdekat-dekadah kalian pada-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Penerima Taubat dan Maha Pengampun”.
Sesungguhnya kebiasaan melakukan dosa akan menyebabkan hilangnya rasa malu kepada Allah. Hati itu menjadi batu, kepekaannya menjadi hilang. Kita tidak lagi merasa bahwa Allah memiliki penglihatan yang jangkauannya menyentuh hingga ke dasar hati kita. Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah mengatakan bahwa malu itu ada dua macam yaitu (i) malu kepada manusia; dan (ii) malu kepada Allah. Kalau seorang manusia itu masih punya malu kepada manusia maka masih ada harapan malu kepada Allah. Kalau seseorang malu kepada Allah maka pasti ia juga akan malu kepada Allah. Bila manusia itu punya malu kepada manusia pasti dia juga akan punya malu kepada Allah. Inilah yang hilang dilingkungan kita, hilang didunia pergaulan kita.
 Pada masa Imam Ahmad bin Hambal hidup seorang wanita yang datang meminta fatwa. “Wahai Imam, saya ini seorang pembuat roti, rumah saya diperempatan jalan dibawah lampu penerangan negara. Kalau malam tiba ketika membuat roti matikan lampu,saya buka pintu rumah sehingga cahaya lampu negara itu masuk ke rumah saya. Apa hukumnya dengan roti yang saya buat itu, sedangkan siangnya saya jual ke pasar?”.

Kita perlu belajar kepada wanita tadi, yang dia merasa malu mengambil dan menikmati keuntungan dengan cara yang bukan haknya, walaupun tidak ada satu pun diantara tetangganya yang mempermasalahkannya. Ia malu sekiranya nanti Allah bertanya tentang rotinya di hari kiamat. Rasa malu ini mari kita pupuk. Rasa malu kepada manusia ketika melakukan dosa, melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sedangkan malu kepada Allah membuatnya meninggalkan dosa ada atau tidak adanya manusia, disaat sepi atau ramainya manusia. Kita meninggalkan maksiat karena kita tahu Allah Maha melihat dan Maha mengawasi hamba-hambaNya.

Nabi pernah mengumpulkan para shahabatnya, beliau berkata,”Wahai shahabatku malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu”. | “wahai Rasulullah, itu sudah mampu kami lakukan”| “ Bukan itu maksudku, yang dimaksud malu kepada Allah adalah kalian (i) menjaga kepala dan apa yang ada didalamnya, dari matamu, lisanmu, pendengaranmu juga fikiranmu; (ii) hendaklah kalian menjaga perutmu, tentang apa yang engkau masukkan kedalamnya; (iii) dan hendaknya kalian senantiasa mengingat mati dan musibah yang emnimpa manusia. Barangsiapa yang hidupnya untuk mencari keridloan Allah maka ia meninggalkan semua kebanggannya di dunia. Barangsiapa yang melakukan itu, maka sesungguhnya ia benar-benar malu kepada Allah.
Ketika Khalifah Al Manshur di baiat, maka sebagaimana kebiasaan yang berlangsung maka yang pertama kali yang dilakukan adalah meminta nasehat kepada ulama besar di zaman itu, yaitu Muqathil bin Sulaiman. “Wahai khalifah, yang mana  engkau hendak mengambil nasehat dari saya, dari yang saya dengar (Al Qur’an & Sunnah) atau yang saya lihat (pengalaman hidup)?. |”Saya ingin dari apa yang kamu lihat” | “Baiklah kita belajar kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis, beliau meninggal dengan meninggalkan sebelas putra putri. Beliau meninggal dengan mewariskan harta 18 dinar. Lima dinar untuk beli kain kafan sedangkan empat dinar untuk biaya pemakamannya sehingga hanya sisa sembilan dinar. Bisa kita bayangkan berapa yang diterima oleh masing-masing dari putra/putri kholifah Umar bin Abdul Azis. Padahal masa itu adalah waktu dimana orang bingung berkeliling negeri mencari siapa diantara penduduknya yang berhak menerima zakat, demikian terjadi karena kemakmuran merata dimana-mana. Sementara khalifah sebelumnya sebelas anaknya menerima warisan satu juta dinar.Namun pada hari itu wahai Al Manshur, saya melihat salah seorang anak Khalifah Umar bin Abdul Azis menginfakkan seratus ekor unta beserta dagangan diatasnya, sedangkan saya juga menyaksikan salah satu anak dari Sulaiman bin Malik (khalifah sebelumnya) bernama Hisyam bin Malik, meminta-minta di pojok pasar.

Disinilah, maka hanya Allah tempat kita memohon rasa aman, memohon rizki. tidak ada kebahagiaan selain berdekat-dekat dengan Allah SWT (Ust. Nur Hamdan, Lc/ANIS)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar