Jumat, 14 Maret 2014

Air Mata Seharga Permata

Bercerita tentang seorang wanita yang sedang berjuang antara cinta dan pengorbanan dengan semangat yang merapuh dan harapan mulai meredup.

Sudah masuk tahun ketiga, suaminya tercinta tergeletak bagai mayat yang bernyawa. Sepenuh cinta dia merawat tubuh yang dingin mengkayu itu, memandikannya, menyuapinya, setiap hari. Tiada bosan selalu bercerita kepadanya tentang hari-hari yang selalu berubah. Tentang matahari yg selalu setia, mengenai rumah mereka juga tentang anak-anak mereka yang sudah mulai tumbuh besar.

Cerita rangkai berangkai terus mengucur dari bibirnya walaupun tanpa jawab, tapi dia yakin suaminya mendengarnya dalam beku dan bisu. Dan sore itu semua lelah, keluh dan harap terbayar lunas. Ketika dia mengusap wajah suaminya, ada gerakan hatinya mendorongnya untuk bertanya,

"Ayah, masih cintakah engkau dengan ibu?".

Lugas saja kata-kata itu meluncur walau ia tahu bahwa pasti seperti yang sudah-sudah bahwa pertanyaannya itu akan meluncur diruang yang kosong.

Namun kali ini berbeda, mendadak jantungnya berdetak kencang, suara detak jam dinding kamar berdebam keras. ....

Dari sudut mata wajah pucat itu mengalir air mata walau dalam tatapan hampa.

Maka segera saja ia balas airmata itu dengan tangis yang berpanjangan. Ucapan dzikir menggetarkan bibirnya, berucap syukur. Inilah saat pertama, dalam tiga tahun terakhir suaminya membalas pertanyaannya, walaupun dengan airmata bergulir.

Maka lunas sudah semua pertanyaan, resah, putus asa, lelah dan gundah. Ternyata Allah menjawab doanya.

*sujud sungkem kagem ibu. Kawulo kangen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar